Diceritakan, konflik awalnya dibawa ke sesepuh adat. Di situ sesepuh adat berusaha mencari titik temu konflik agar kedua pihak berkonflik bisa didamaikan. Pertemuan segi tiga antara pihak berkonflik dan sesepuh.
Musyawarah tidak hanya sekali. Frekuensi musyawarah ditentukan sesepuh. ”Bisa sampai puluhan kali,” ujar sesepuh. ”Biasanya, belum sampai sepuluh kali musyawarah, sudah dicapai kesepakatan. Persoalan selesai,” tambahnya.
Para pihak yang berkonflik umumnya menghindari carok. Sebab, carok adalah pertarungan menggunakan celurit sampai salah satunya mati.
Jika kedua pihak sama-sama egois dan sama-sama bertekad mati, barulah terjadi carok. Pelaksanaannya dirahasiakan dari publik, tapi disaksikan sesepuh adat sebagai semacam juri.
Hari pelaksanaan dan lokasi carok ditentukan bersama. Tiga hari menjelang hari H, dilakukan pertemuan makan bersama tiga pihak: para pihak berkonflik dan sesepuh. Biasanya di rumah sesepuh.
Jika salah satu pihak berkonflik tidak hadir, berarti carok dinyatakan batal. Sesepuh menyatakan, carok batal. Namun, konflik tetap belum selesai, akan dilakukan musyawarah ulang. Jika carok sudah dinyatakan batal, lalu ada pihak berkonflik yang menyerang musuh, berarti pelanggaran. Penyerangnya akan dihukum adat.
Sampai pada titik puncak, di acara pertemuan makan bersama, semua pihak hadir. ”Itulah sebenarnya musyawarah terakhir. Karena sesepuh akan menjelaskan lagi dan lagi, konsekuensi carok. Salah satunya pasti mati,” ujar sesepuh.
Di pertemuan makan bersama itu, boleh saja terjadi kesepakatan damai. ”Kebanyakan memang damai di pertemuan terakhir ini,” ungkapnya.
Tapi, jika tidak ada pihak yang mengalah, carok akan digelar tiga hari kemudian. Pada pertemuan terakhir itulah, setiap pihak yang bertikai menyebutkan besaran ”banda” yang dipertaruhkan.
Misalnya, pihak A mempertaruhkan dua sapi miliknya. Pihak B mempertaruhkan seekor ayam. Besaran terserah pelaku. Harta itu wajib dibawa saat pelaksanaan carok. Harta akan dibawa pulang pihak yang menang.
”Penyebutan banda ini juga bersifat gertakan. Makin tinggi nilainya, bisa membuat pihak lawan grogi, lalu membatalkan carok. Boleh dibatalkan sebelum pertemuan itu bubar,” tutur sesepuh.
Seandainya di pertemuan akhir tidak ada pihak yang mengalah, barulah digelar carok. Disaksikan sesepuh. Sebagai wasit.
Dari situ tampak, berlapis-lapis upaya perdamaian dalam musyawarah untuk mencapai mufakat. Berkali-kali sesepuh mengupayakan damai. Jalan terakhir hanya carok.
”Sebenarnya, saat carok, sesepuh sangat sedih. Sesepuh merasa gagal jadi juru damai. Carok terpaksa dilakukan supaya pihak-pihak yang berkelahi tidak saling menyerang secara tidak adil di suatu hari,” tutur sesepuh.
Apakah peristiwa di Desa Tanah Merah Laok, Kecamatan Tanah Merah, Bangkalan, itu benar-benar carok? Masih diselidiki polisi. (*)