ADA orang –yang terkenal kaya di kampungnya-- mengeluh. "Menyebalkan sekali hidup di zaman sekarang. Apa-apa kudu pakai duit!" kesalnya.
Tetangganya menyahut, "Kalau nggak mau keluar duit, tidur aja!"
Si kaya balik menimpali, "Kamu kira tidur gak pakek uang? Obat nyamuk dan selimutmu itu beli pakai apa?"
Zaman dulu mungkin tidak sepenuhnya begitu. Sebab, budaya guyub dan tolong-menolong antarsesama masihlah kental. Di pedesaan, misalnya, untuk mendirikan rumah atau menggarap sawah, cukup dengan memberi tahu tetangga sehari atau dua hari sebelumnya, maka para tetangga akan berbondong-bondong membantu di hari H dengan riang gembira. Upahnya, kalau bisa disebut upah, hanya berupa makan seadanya.
BACA JUGA:Kisah Elly Minarti Menaklukkan Boston Marathon, 14 Km Terakhir Telapak Kaki Bersimbah Darah
BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan Kaprodi Pendidikan Bahasa Mandarin Universitas Ma Chung Anggrah Diah: Ru Yu De Shui
Kini, pemandangan demikian agaknya sudah mulai jarang kita jumpai. Pun di desa-desa. Manusia telah terbiasa menjadi makhluk yang mengukur segalanya dengan hitung-hitungan matematis-ekonomis. Seperti dibilang suatu plesetan, "Ada uang abang disayang, tak uang abang ditendang."
Barangkali inilah mengapa orang-orang suci zaman dahulu mengajarkan kita untuk memupuk sikap zuhud: menjauhkan diri dari kesenangan duniawi. Ini supaya kita bisa terlepas dari apa yang Sang Buddha sebut sebagai "kemelekatan" (upādanā) --yang akan mencelakakan kita pada akhirnya.
Kemelekatan pada materi, umpamanya, Chris Tju selalu berusaha menetralisirnya. Uang pun, bagi desainer tata cahaya terkemuka pemilik Christju Pte. Ltd. yang kantornya berada di Jakarta dan Singapura itu, dilihat tak lebih dari secarik kertas yang tak ada nilainya. Dari situ, ia ingin setelah mati kelak, tak ada masalah apa lagi yang membuntuti.
Terlihat sekali, Chris adalah representasi dari pepatah klasik "口不言钱" (kǒu bù yán qián). Yang artinya: menjunjung tinggi kesederhanaan, tak menghiraukan kemewahan. (*)