SURABAYA, HARIAN DISWAY - Pameran BATAS LUAR mengadakan talkshow yang mengundang perhatian terhadap perdebatan tentang Surabaya sebagai kota seni. Acara tersebut dihadiri oleh kurator dan penulis Mikke Susanto, wartawan Harian Kompas Ambrosius Harto, serta seniman Surabaya Joko Pramono, yang berlangsung di Visma Gallery pada Senin, 12 Juni.
Dalam talkshow tersebut, Irawan Hadikusumo, yang bertindak sebagai moderator sekaligus kolektor seni rupa, menyatakan bahwa acara tersebut adalah hadiah bagi insan seni rupa Surabaya dan kota Surabaya sendiri. " Dengan tema Periphery atau pinggiran. Kita menemukan kata yang lebih sopan dari pinggiran yaitu batas luar," ucap Irawan Hadikusumo yang merupakan moderator dalam acara itu dan juga merupakan seorang kolektor seni rupa. Kurator sekaligus penulis, Mikke Susanto mengatakan E ropa tentu saja mempunyai basis kebudayaan yang disebut dengan Yunani Romawi. Berkembang jauh sebelum Masehi. Di dalam konteks geopolitik, munculnya demokrasi memunculkan isu yang disebut metropolitan dan provinsi. “Dari situlah akhirnya kami mulai membicarakan pusat dan pinggiran. Di dalam bidang kebudayaan, khususnya seni, kita juga bisa menandainya dengan adanya transformasi seni menjadi lebih modern,” lanjutnya. Sang kurator menjelaskan bagaimana asal mula adanya polemik pusat dan pinggiran dengan sangat detail dan tidak membuat bingung. Lugas dan juga jelas. “Di dalam konteks yang lebih khusus, munculnya wacana periphery atau yang digaungkan dengan mainstream itu yakni munculnya transformasi kebudayaan Eropa ke seluruh dunia. Salah satunya yang paling dijadikan ikon dalam sejarah kebudayaan adalah munculnya kepala Budha yang awalnya bulat-bulat menjadi lebih realis,” tambahnya. Joko Pramono, seorang seniman asal Surabaya, memberikan tanggapannya mengenai polemik itu. Ia menyatakan bahwa Surabaya bukan hanya sekadar wilayah pinggiran, melainkan juga merupakan gudang pusaran seni rupa yang berkembang di Indonesia.Beberapa lukisan yang dipamerkan di BATAS LUAR Exhibition, VISMA Gallery Surabaya-Syahrul Rozak Yahya- “Saya melihat potensi dari akademisi seni dan juga mahasiswanya itu bisa menghasilkan sebuah karya yang luar biasa dari pemikirannya.” “Sehingga kalau kita pikir tentang peripheral, bagaimana Surabaya disebut sebagai kota pinggiran seni rupa, ini paradoks juga. Karena seniman-seniman yang berasal dari Surabaya banyak yang pindah ke Jogja, bahkan subur di Jogja, hijrah ke Jogja. Sehingga memberikan atmosfer seni rupa di Jogja itu menjadi lebih dinamis,” ucap Jopram, nama sapaan Joko. “Agar tidak menjadi wacana seperti ‘Surabaya ini mana sih senimannya?’ Tetapi harus menjadi sesuatu yang dijawab ‘Ya, ada seniman yang menarik’, meskipun secara infrastruktur galeri di Surabaya ini dapat dihitung,” sebutnya. “Jadi kalau dianggap peripherial itu sebenarnya ya iya juga,” ucapnya sambil tertawa. “Karena perkembangan dari galeri sendiri tidak mampu untuk melakukan sesuatu hubungan dengan seniman yang lain.” ujarnya menyetujui bahwa Surabaya termasuk batas luar untuk karya seni rupa. BACA JUGA:Potret Meet and Greet Timnas Indonesia dan Palestina di Balai Kota Surabaya Kemudian moderator Irawan melemparkan candaan pada Jopram, “Mas Jopram saya mau tanya mas, Sampean minder enggak, sebagai orang Surabaya sama kurator dari Jogja?” Ucapnya sambil tertawa. “Oh, terus terang saya bener-bener percaya diri bahwa tinggal di Surabaya merupakan sesuatu.” Jawab sang seniman dengan percaya diri. “Begini, soal kualitas itu kan sesuai dengan pemahaman intelektual masing-masing, ya. Bagaimana pemahaman karya bagus itu dipahami dari berbagai lapisan disiplin ilmu.” jawab Joprem. Lalu bagaimana sebuah media membingkai tentang seni rupa. Ambrosius Harto, seorang wartawan juga ikut menanggapi tentang fenomena ini. “Saya pernah ketemu pelukis yang menggunakan ampas kopi. Saya ketemu beliau di acara yang menurut saya nggak ada di Surabaya. Jadi ada acaranya Bank Indonesia pameran festival kopi, nah si pelukis ini memajang karya-karyanya yang dari ampas kopi kemudian saya tanya beliau,” ucapnya. Pelukis tersebut menjawab dari ampas kopi. Sebagai seorang wartawan, ia melihat itu hal menarik untuk dijadikan bahan tulisan. "Saya enggak peduli seniman ini baru mulai karirnya atau bagaimana yang penting adalah karyanya yang dari ampas kopi tadi,” ucapnya. BACA JUGA:Angkat Kepercayaan diri Anak-Anak, Mahasiswa Untag Surabaya Gelar Kids Fashion Show “Begitu dia masuk di media saya dan saya sosokkan dengan sedemikian rupa, dia menghubungi saya katanya mau pergi pameran ke Kanada. Jadi, apa ya saya melihat bahwa seniman itu punya keunikan,” lanjutnya bersemangat. “Acara-acara seni di Surabaya ini perlu dikemas dengan berbeda. Nggak cuman pameran lukisan, tapi ada tema dan kegiatan lainnya. Karena menurut saya seni itu tidak untuk dikatakan oh ini menang, oh ini kalah, tapi lebih kepada Surabaya itu punya karakter. Senimannya punya karakter,” kata Harto.
Audiens yang sedang berfoto dengan sang kurator dan penulis Mikke Susanto (kanan)-Syahrul Rozak Yahya- Sesi talkshow itu ditutup dengan salah satu pertanyaan dari audiens, parameter kesuksesan untuk seorang seniman itu apa? Lalu dijawab oleh Mikke, “Ada seniman yang memang orientasinya adalah pasar, jadi dia melelang karya-karyanya, contohnya pelukis. Ada juga seniman yang orientasinya bukan pasar, melainkan menyebarkan karyanya di pameran-pameran seperti ini, agar orang-orang mengetahui reputasinya sebagai seorang seniman,” jawab Mikke. “Sehingga kalau kita menyebut seniman, itu harus masuk ke wilayah yang lebih detail lagi. Tidak bisa menyamaratakan status seniman dalam aspek reputasi. Nah, salah satu yang paling gampang adalah, apakah seorang seniman tersebut pernah menggelar pameran tunggal,” lanjut Mikke. “Dari situ seniman sudah menyatakan diri sebagai seniman bereputasi. Banyak orang pecinta seni yang berkreasi, tapi belum tentu bisa berpameran tunggal,” jawabnya dengan tersenyum. (Kumala Herni Kartika)