BACA JUGA:Tambang Ilegal Jadi Modal Kampanye Pemilu 2024
Logika sederhana, barang impor dengan harga jauh di bawah harga pasar Indonesia pasti barang ilegal. Dan, barang ilegal pasti juga tidak bakal lolos dari pelabuhan.
Akhirnya Fitra kabur. Membawa duit investor. Ia ngumpet berpindah-pindah dari hotel ke hotel di Jakarta. Diburu polisi.
Merujuk buku Alice Goffman, semua penjahat buron yang punya keluarga suatu saat pasti akan pulang. Minimal, berada di lokasi yang dekat dengan tempat tinggal keluarganya.
Itulah Fitra. Kini ia dijerat dengan Pasal 372 KUHP dan Pasal 378 KUHP, penipuan, ancaman hukuman lima tahun penjara.
Penangkapan Fitra menandakan polisi berupaya keras mengejar buron itu. Pengejaran buron yang sukses (dengan penangkapan tersangka) mengurangi niat calon penjahat berbuat kejahatan.
Tiga kriminolog Amerika Serikat (AS), yaitu Robert J. Sampson, John H. Laub, dan Elaine P. Eggleston, dalam karya yang bertajuk On the Robustness and Validity of Groups (2004), memaparkan hasil riset mereka. Yakni, hukuman penjara, betapa pun beratnya bahkan sampai hukuman mati, tidak menimbulkan deterrent effect (efek jera).
Sebab itu, banyak residivis. Penjahat yang pernah dihukum penjara melakukan kejahatan lagi. Baik bentuk kejahatan yang sama dengan saat ia dihukum dulu maupun kejahatan bentuk berbeda.
Tapi, keniscayaan bahwa semua penjahat pasti akan ditangkap polisi adalah efek jera paling efektif. Artinya, adanya kepastian semua penjahat bakal ditangkap polisi berdampak positif buat kamtibmas. Calon penjahat bakal takut melakukan kejahatan. Kejahatan bakal berkurang.
Hasil riset di buku itu, mayoritas penjahat yang diteliti paling takut sebelum ditangkap polisi. Lantas, hukuman penjara yang singkat hingga sedang (tidak disebutkan kisaran lama hukuman) menjadi pencegah yang bersangkutan berbuat jahat pada masa mendatang. Juga, menakutkan bagi calon penjahat.
Sedangkan, hukuman penjara yang lama bagi penjahat hanya menghasilkan efek pencegahan yang terbatas.
Selain itu, hukuman penjara yang lama bagi penjahat juga meningkatkan biaya yang dikeluarkan negara untuk memberi makan penjahat serta infrastruktur dan fasilitas penjara.
Buku itu menyatakan, ”Pemolisian yang efektif yang mengarah pada sanksi yang cepat dan pasti (tetapi tidak harus dengan hukuman berat) adalah pencegah yang lebih baik daripada ancaman pemenjaraan yang lama.”
Buku itu ditanggapi buku karya kriminolog Prof Daniel S. Nagin yang bertajuk Deterrence in the Twenty-First Century (2013). Dinyatakan bahwa puncak usia seseorang jadi penjahat adalah 35 tahun. Setelah melewati usia itu, niat kejahatan turun secara lambat tapi pasti.
Penurunan niat penjahat berbuat kejahatan itu disebabkan berbagai hal. Antara lain, kedewasaan, pertimbangan penjahat terhadap dampak keluarga, kepastian hidup bebas tanpa dipenjara.
Apalagi, bagi mantan penjahat yang pernah dihukum. Ia sudah menghabiskan hidupnya dalam keterbatasan penjara. Dengan begitu, niatnya berbuat jahat turun. Kecuali buat penjahat yang punya kelainan jiwa.