Namun, Ejaz memberikan logika: ”Orang-orang Afghanistan menjual putra dan putri mereka demi uang. Bagaimana Anda bisa membandingkannya dengan menjual ginjal?”
Maksudnya, menjual ginjal dianggap lebih sepele daripada ortu menjual anak. Untuk dilacurkan atau apa pun.
Ejaz menegaskan: ”Kita harus melakukan ini karena seseorang sedang sekarat.”
Wartawan menunjukkan ke Ejaz kartu nama seorang ”broker” ginjal. Ternyata Ejaz tidak kaget. Ia berkata, ”Di Afghanistan Anda menemukan kartu nama bagi orang untuk membunuh orang lain.”
Whaow…. Membaca liputan kondisi di Afghanistan, kita masih boleh bersyukur. Penjual ginjal di Ponorogo itu masih ngumpet-ngumpet. Di Afghanistan begitu terbuka. Sampai diliput wartawan asing.
Bersyukur boleh, tapi jangan gembira. Sebab, di mana pun ada orang menjual ginjal, berarti ia tinggal di negeri miskin. (*)