UNDANG-UNDANG Kesehatan telah resmi disahkan dengan sejumlah kontroversi. Salah satunya, penghapusan anggaran wajib atau mandatory spending. UU itu mengatur anggaran kesehatan berbasis kinerja. Alasannya, besarnya anggaran kesehatan tidak linier dengan makin baiknya kesehatan penduduk.
Pada UU lama, mandatory spending mengharuskan APBN menyisihkan 5 persen anggarannya untuk kesehatan. Pemerintah daerah diwajibkan menyisihkan 10 persen anggaran. Dengan mandatory itu, kita melihat kondisi kesehatan masyarakat secara umum membaik. Dengan mandatory, pemerintah harus memperhatikan kesehatan karena harus menyediakan anggaran cukup besar.
Saat ini harapan hidup masyarakat Indonesia 68,8 tahun (2020) dengan pengeluaran kesehatan per kapita hanya USD 133. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang mencapai USD 12 ribu. Bahkan, Kuba saja, pengeluaran kesehatan mencapai USD 1.900 per orang per tahun. Lebih besar 14 kali lipat daripada Indonesia. Pengeluaran kesehatan Indonesia mirip dengan Vietnam, Filipina, Timor Leste, Kamboja, dan Mesir. Di antara negara-negara itu, Vietnam memiliki harapan hidup tertinggi, yakni 75,4 tahun.
BACA JUGA:IDI Siap Ajukan Judicial Review UU Kesehatan
BACA JUGA:UU Kesehatan Tonggak Reformasi Sistem Kesehatan
Pemerintah beralasan bahwa besar-kecilnya anggaran tidak secara linier berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Artinya, anggaran kesehatan yang besar tidak otomatis membuat kesehatan masyarakat membaik. Itu, misalnya, bisa dilihat dari anggaran kesehatan masyarakat AS dan Kuba. AS dengan anggaran kesehatan 6,3 kali lebih besar daripada Kuba ternyata memiliki harapan hidup relatif sama. Bahkan, Kuba lebih baik. Harapan hidup di AS hanya 77,4 tahun (2020) dan Kuba 77,6 tahun.
Selama ini anggaran kesehatan di Indonesia ditetapkan sebagai kebijakan yang bersifat mandatory. Dengan kewajiban saja, anggaran kesehatan masih sangat kecil. Konsep mandatory spending itu digunakan untuk memastikan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah mau mengalokasikan anggaran kesehatan cukup besar. Lima hingga sepuluh persen dari anggaran belanja untuk membangun infrastruktur, sumber daya manusia, hingga jaminan kesehatan bagi masyarakat kecil.
Tentu saja, pencabutan mandatory spending dalam UU Kesehatan yang baru itu memunculkan berbagai kekhawatiran. Khawatir pemerintah tak akan menyisihkan anggaran kesehatan yang memadai. Minimal 5 persen dari APBN, 10 persen dari APBD. Seperti yang terjadi sebelum adanya mandatory spending.
Karena anggaran pemerintah terbatas, sementara kebutuhan sangat besar, dikhawatirkan kesehatan tidak menjadi prioritas pemerintah dan pemerintah daerah. Karena itu, anggarannya dilindungi dengan mandatory. Agar kesehatan masyarakat tidak dikalahkan dengan kebutuhan lain. Anggaran yang juga menggunakan mandatory spending adalah pendidikan, yaitu 20 persen dari anggaran belanja.
Apa anggaran kesehatan berbasis kinerja lebih baik? Anggaran yang berorientasi pada kinerja adalah sistem penganggaran yang berorientasi pada output organisasi dan berkaitan sangat erat dengan visi, misi, dan rencana strategis organisasi. Performance budgeting mengalokasikan sumber daya pada program. Bukan pada unit organisasi semata. Anggaran itu memakai output measurement sebagai indikator kinerja organisasi
Secara konsep, anggaran berbasis kinerja memang menjanjikan. Konsep anggaran itu mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Sistem tersebut berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja. Bukan kebijakan seperti mandatory spending. Anggaran berbasis kinerja menganggarkan sumber daya pada program dan menjadikan output measurement sebagai indikator dari kinerja suatu organisasi.
Dalam bahasa sederhana, anggaran tidak perlu dibatasi dan ditentukan dengan kebijakan. Bergantung pada output apa yang ingin dicapai. Dengan begitu, anggaran kesehatan bisa saja jauh lebih besar daripada mandatory selama ini. Tapi, sebaliknya, juga bisa saja anggaran kesehatan jauh di bawah 5 persen (APBN) dan 10 persen (APBD) jika memang output bisa dicapai dengan anggaran yang kecil.
Secara konsep, anggaran berbasis kinerja itu sangat baik. Prinsipnya, money follow activity. Programnya apa, tujuannya apa, dan anggaran yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan itu berapa. Dengan konsep tersebut, anggaran bisa dibuat efektif dan efisien. Untuk menghasilkan output tertentu, berapa input anggaran yang dibutuhkan. Semua terukur. Program dijalankan sesuai prioritas.
Itu berbeda dengan anggaran berbasis mandatory spending. Yang secara prinsip menggunakan line item budgeting. Anggaran dibuatkan pos-pos tertentu sesuai kebijakan dan direalisasikan sesuai anggaran yang tersedia. Biasanya, program dibuat mengikuti program-program tahun sebelumnya.
Dengan model itu, jika tidak direncanakan dengan matang, program dibuat sekadar menyerap anggaran. Activity follow money. Anggarannya berapa, lalu dibuatkan program untuk menyerap anggaran itu. Jadinya, sering kali anggaran tidak efektif dan efisien. Tidak terukur dampak atau output dari anggaran tersebut. Apalagi jika anggarannya cukup besar.