JAKARTA, HARIAN DISWAY - Pemilihan umum (Pemilu) 2024 tinggal enam bulan lagi. Waktu yang sangat singkat. Dinamika koalisi partai politik justru memberi kejutan. Kini, ada wacana Ganjar Pranowo bakal dipasangkan dengan Anies Baswedan.
Semua kemungkinan bisa terjadi. Apalagi, Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang mengusung Anies seolah mandek. Belum ada kemajuan signifikan selama paro pertama 2023.
Elektabilitas mantan gubernur DKI Jakarta seperti tercecer. Terakhir dari hasil survei Litbang Kompas, Anies hanya meraih suara 12,7 persen. Tertinggal jauh dari ketatnya perolehan suara Ganjar dan Prabowo Subianto.
“Dibayangi juga oleh kondisi KPP yang kian stagnan,” ujar Direktur Eksekutif Indostrategic A. Khoirul Umam saat dihubungi Rabu, 23 Agustus 2023. Sebetulnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat sudah siap mendeklarasikan pasangan capres-cawapres. Bahkan juga membentuk infrastruktur pemenangan Anies.
BACA JUGA:Jelang Lengser dari Gubernur, Ganjar Pranowo Nitip ini ke Masyarakat Jateng
Tetapi, NasDem justru tampak bersikeras mengulur waktu hingga menit-menit terakhir. Ada situasi yang mendesak partai besutan Surya Paloh itu. Yang kini seolah tersandera oleh tangan-tangan kekuasaan yang tak terlihat.
Seperti yang kerap terjadi belakangan. Memukul telak lawan politik dengan instrumen hukum. Karena ketakutan itulah, kata Umam, NasDem memilih diam. Tidak segera memutuskan nasib keberlanjutan pencapresan Anies.
Anies yang seharusnya agresif pun juga ikut-ikutan diam. Elektabilitasnya terseok-seok 6 bulan jelang Pilpres 2024. ”Anies sendiri belakangan juga tampak semakin gamang dan tidak cukup keberanian untuk mengkritik kebijakan pemerintahan yang ia klaim butuh perubahan,” tandas dosen Ilmu Politik & International Studies Universitas Paramadina itu.
Situasi ini menjadi ujian berat bagi PKS dan Demokrat. Kedua partai politik KPP itu tampak gusar. Bahkan tak berdaya lantaran tidak ada kesetaraan dalam keputusan di internal koalisi.
Menurut Umam, munculnya ide penggabungan Ganjar-Anies sebagai pasangan adalah bagian dari strategi awal pembubaran KPP. Terutama agar salah satu dari partai yang merasa tidak nyaman itu bisa segera keluar dari koalisi.
Jika ini terjadi, maka deadlock KPP sebenarnya bukan semata akibat benturan ego elite partai-partainya. Melainkan akibat dari cawe-cawe tangan kekuasaan yang menjebak NasDem. Sehingga menjadi ragu dan tidak siap menghadapi risiko besar pencapresan Anies.
BACA JUGA:Anies Masih Gamang Soal Cawapres, AHY Ingatkan Waktu Sangat Berharga
Padahal, lanjut Umam, konfigurasi parpol KPP sudah fase final. Mengingat Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golongan Karya (Golkar) sudah memutuskan ke kubu Prabowo. Seharusnya, Anies bisa memecah kebekuan dalam koalisinya.
“Kalau Anies masih tetap terdiam, ia tidak sadar dirinya hampir kehilangan momentum,” tuturnya. Sebab, jaringan, kekuatan, dan logistik politiknya relatif terbatas. Anies mungkin lupa bahwa ini panggung Pilpres, bukan Pilkada DKI Jakarta seperti 2017 silam.
Juru Bicara (Jubir) Anies Baswedan Sudirman Said menilai wacana duet itu representasi politik yang sehat dan dewasa. Semua pihak membuka segala kemungkinan kerja sama. Toh, pendaftaran capres-cawapres ke Komisi Pemilihan Umum sisa dua bulan lagi.