Egoisme Boehly Cengkeram The Blues

Kamis 24-08-2023,13:39 WIB
Reporter : Max Wangge
Editor : Max Wangge

Manchester United dan Chelsea membutuhkan stabilitas yang membuat Liverpool menjadi mesin pemenang Liga Inggris pada 1980-an. Chelsea larut dalam egoisme pemiliknya, Todd Boehly. United membakar GBP 1,1 miliar, tetapi tetap sulit mendekati era Alex Ferguson. Berikut kronik analis Ian Herbert yang disarikan dari Daily Mail. 

==========

SEORANG kawan mengirim sebuah gambar lawas yang terbingkai rapi. Ia meminta saya menyebut dua sosok dalam bingkai gambar itu. Saya tertarik memilih sosok yang tengah berdiri dan sedang berteriak. Kenapa? Saya tahu persis itu sosok Bob Paisley. 

Mantan manajer Liverpool yang tersohor itu. Saya bahkan ingat betul. Itu adegan ketika Paisley berada di Stadion Wembley. Kala itu Liverpool terlibat dalam duel Merseyside melawan Everton di final Piala FA 1986.

Saya pikir saya tahu sebanyak yang perlu diketahui tentang manajer pemenang Liga Champions tiga kali tersebut. Saya menulis biografinya enam tahun lalu. Saya tidak tahu ia ada di bangku cadangan hari itu, ketika Liverpool bersaing memperebutkan satu trofi yang belum pernah dimenangkan Paisley.

Kehadirannya sangat sesuai dengan alasan Liverpool mendominasi sepak bola Inggris pada 1980-an. Klub itu bicara tentang kontinuitas. Tentang  manajer petahana bernama Kenny Dalglish. 

Ia membawa etos yang diwarisi dari manajer sebelumnya, Joe Fagan. Fagan meneruskan obor Paisley sendiri. Semua manajer Liverpool harus ingat egoisme adalah musuh besar Anfield Boot Room. Manajemennya harus egaliter.

Ada batasannya. Setelah digantikan Paisley pada 1974, Bill Shankly diam-diam diminta Sekretaris Klub Liverpool Peter Robinson untuk tidak berada di tempat latihan setiap pagi. Itu semua hanya untuk menghindari para pemain yang datang merasa wajib memanggilnya bos. 

Tapi, Shankly masih milik The Reds. Ketika tim Paisley membawa pulang trofi Liga Champions pada 1977, Shankly bersama tim yang mempersembahkannya kepada orang-orang di Dataran Tinggi St George. Itu pusat Kota Liverpool.

BACA JUGA:Berangkat ke Sleman Lawan PSS, Persebaya Bawa 22 Pemain Tanpa Paulo Victor

John Toshack, anggota skuad hingga 1980, pernah mengatakan kepada saya bahwa menurutnya dewan direksi Liverpool tidak ingin kehilangan apa yang telah mereka ciptakan, ketika manajer baru menggantikan manajer saat itu.

Mereka berpikir, ”Kami tidak ingin membawa orang baru yang akan mengocok botol,” katanya. ”Mari kita biarkan air mengapung sedikit dan lihat apa yang terjadi.”

Dapat dikatakan bahwa botol-botol sedang dikocok hingga meledak di puncak sepak bola Inggris sekarang. Tentu saja waktu yang berbeda. Klub-klub terkemuka adalah milik dana kekayaan ekuitas berdaulat dan swasta, yang memiliki miliaran untuk dibakar. 

Bloomberg melaporkan bahwa perusahaan ekuitas swasta menghabiskan GBP 40 miliar untuk transaksi olahraga pada 2021. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari total pada 2017. Tidak ada pemain dan manajer yang abadi. Mereka bisa dibuang kapan saja.

Namun, stabilitas dan kontinuitas Liverpool di era itu –mengetahui metode mereka, jenis pemain yang bisa melakukannya dan bertahan dengan itu– masih memiliki relevansi mutlak dengan era sekarang. Era ketika Manchester City jadi kekuatan baru yang ikonik. 

Kategori :