INDONESIA baru saja kembali dari kejuaraan dunia bulu tangkis di Denmark. Sudah bisa ditebak, kita pulang dengan tangan hampa. Pasangan ganda putri Apriyani Rahayu/Siti Fadia Silva Rahmadhanti sempat melesat ke final.
Hasilnya? Anda sudah tahu. Seperti cuaca, bulu tangkis Indonesia 2023 dilanda El Nino. Tahun kerontang gelar. Padahal, semuanya berebut OTW Olimpiade.
Seusai dari Denmark, sebentar lagi ada China Open, 5–10 September 2023. Itu satu di antara sedikit turnamen bintang lima. Ini momentumnya pemain elite menunjukkan eksistensinya di Guangzhou Olympic Sports Center Xincheng Gymnasium, Guangzhou, Jiangsu. Anthony Sinisuka Ginting pernah juara di sana pada 2018.
Menilik peringkatnya, semestinya Ginting bisa. Namun, anomali justru terjadi di sini. Belakangan, peringkat tinggi itu didapatkan karena seorang pemain sering mengikuti turnamen. Cermin kuantitas. Bukan kualitas. Jadi, tidak heran kalau Ginting atau Jonatan Christie sering kali kalah oleh pemain yang tidak-tidak.
Rasa-rasanya Ginting dan Jojo perlu mendapatkan pendampingan psikolog. Pendampingan itu perlu dilakukan karena keduanya sering kali tersandung dari pemain yang ranking-nya jauh di bawah.
Ginting dan Jojo juga beberapa tahun terakhir ini selalu kalah duluan bila bertemu Victor Axelsen. Berulang kali lob serang Ginting dan Jojo selalu diintersep (dicegat) Axelsen. Lob serang keduanya jadi makanan empuk tunggal putra Denmark. Lama-lama, keduanya seperti kehilangan kepercayaan diri. Inferiority complex.
Axelsen seolah-olah jadi momok. Padahal, Ginting dan Jojo punya speed dan power. Keduanya juga punya stroke (pukukan) yang komplet. Staminanya juga relatif prima. Ginting dan Jojo kini sedang berada dalam periodesasi golden age.
Di tunggal putri, Gregoria Mariska Tunjung sudah selangkah lebih maju. Gregoria sudah mulai menemukan touch-nyi. Ia tidak inferior lagi melawan lawan yang di atasnyi. Satu-satunya batu sandungan Gregoria adalah menundukkan diri sendiri saat melawan singelar Korea Selatan An Se-young. Gregoria seperti belum menemukan formula yang pas untuk merobohkan pemain nomor satu dunia dari Negeri Ginseng. Sudah tiga kali bersua, Gregoria terlempar terus.
Nomor yang harus mendapatkan sorotan tajam adalah ganda putra. Komunitas bulu tangkis internasional tahu persis kekuatan Indonesia di sektor tersebut. Setelah era Marcus F. Gideon/Kevin Sanjaya berlalu, Indonesia langsung mendapatkan substitusi yang pas.
Pasangan Fajar Alfian/Mohmmad Rian Ardianto langsung menguasai dunia. Namun, pada 2023, kehebatan pasangan itu seperti lenyap begitu saja. FajRi –julukan Fajar Alfian/Mohmmad Rian Ardianto– seperti mengganti syair lagu Di Sini Senang, Di Sana Senang menjadi di sana kalah, di sini tumbang.
Permainan FajRi memang terkesan monoton dan kurang variatif. Pasangan itu seolah-olah tidak punya senjata rahasia. Tidak heran, karena begitu permainannya terbaca lawan, FajRi seolah-olah tidak mampu keluar dari tekanan lawan dan cenderung hilang akal.
Di saat bersamaan, tiga pasangan muda Indonesia lainnya masih angin-anginan. Tatkala ada angin barat, pasangan itu bertiup ke barat. Saat angin timur, mereka juga ikut ke timur.
Pasangan muda Indonesia tidak menciptakan angin bahorok, puting beliung, atau angin tornado sendiri. Itulah yang terjadi pada pasangan Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin, Bagas Maulana/Mohammad Fikri (BakRi), dan pasangan Yeremia Erich Yoche Yacob Rambitan/Pramudya Kusumawardana. Inkonsistensi.
Padahal, tahun lalu mereka kerap menyibak jalan senior untuk merengkuh juara. Pasangan muda Indonesia kerap membuat pasangan elite lawan lintang pukang. Di China Open, pasangan BakRi malah harus melawan ganda nomor satu India yang belakangan sedang naik daun, Satwiksairaj Rankireddy/Chirag Setty.