HARIAN DISWAY - Sebagian besar masyarakat mempercayai bahwa pelaku dari Gerakan 30 September 1965 adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Namun faktanya, banyak penelitian yang menyatakan bahwa pelaku utama peristiwa berdarah tersebut tidaklah tunggal, melainkan terdapat berbagai macam versi lain. Menurut Asvi Warman Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dilansir dari laman Historia, Soekarno sendiri dalam pidato Nawaksara mengatakan bahwa peristiwa G 30 S PKI merupakan pertemuan tiga sebab. "Yaitu pimpinan PKI yang keblinger , subversi nekolim, dan oknum yang tidak bertanggung jawab. Jadi, dalangnya tidak tunggal dan merupakan perpaduan unsur dalam negeri dengan pihak asing,” katanya. Dari berbagai penelitian, setidaknya terdapat lima versi pelaku di balik peristiwa G 30 S PKI, yakni: PKISuasana briefing pelaksanaan G30S oleh PKI dalam film Pengkhianatan G30S/PKI-tvMu Channel-Youtube Diketahui bahwa versi PKI sebagai pelaku utama adalah klaim dari rezim Orde Baru. Literatur Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia (1968) karya sejarawan Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh adalah literatur pertama yang menjelaskan bahwa PKI adalah pelaku utamanya. Literatur tersebut menyebut skenario PKI yang sudah lama ingin mengkomuniskan Indonesia. Bahkan buku tersebut juga menjadi acuan dalam pembuatan film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI karya Arifin C. Noer. Selain itu, rezim Orde Baru juga membuat Buku Putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara dan Sejarah Nasional Indonesia suntingan Nugroho Notosusanto yang diajarkan di sekolah-sekolah semenjak Soeharto berkuasa. Rezim Orde Baru menambahkan “PKI” dalam peristiwa “G 30 S” sehingga menjadi “G 30 S PKI” yang hingga kini banyak dikenal masyarakat. Padahal, para pelaku sendiri menamai operasi dan menyebutkannya dalam pengumuman resmi sebagai “Gerakan 30 September” atau “G 30 S”. Penyebutan G 30 S PKI sudah menjadi bagian dari propaganda rezim Orde Baru dan menegaskan bahwa satu-satunya pelaku dalam peristiwa tersebut adalah PKI. Penyebutan istilah tersebut bertahun-tahun digunakan dalam pelajaran sejarah sebagai satu-satunya versi yang ada. Sejarawan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto mengemukakan bahwa PKI sama sekali tidak terlibat secara kelembagaan. Sebagaimana mestinya sebuah keputusan resmi partai yang seharusnya diketahui oleh semua pengurus, ternyata rencana tersebut hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Struktur kepengurusan partai mulai dari Comite Central (CC) sampai dengan Comite Daerah Besar (CBD) tidak mengetahui sama sekali terkait rencana itu. “Karena dia (Roosa) menggunakan sumber-sumber yang sangat kuat. Misalnya, keterangan pengakuan Iskandar Subekti, orang yang menulis pengumuman-pengumuman G 30 S di (Pangkalan) Halim," kata Asvi. "Dia juga menggunakan keterangan pengakuan Brigjen Supardjo. Artinya orang-orang yang betul-betul terlibat secara meyakinkan dalam kejadian tanggal 30 September 1965 sampai paginya itu," katanya. Konflik Internal Angkatan Darat
Sampul buku A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia--Goodreads Dasar dari versi ini berasal dari literatur A Preliminary Analysis of the October 1 1965, Coup in Indonesia atau dikenal sebagai Cornell Paper (1971) karya sejarawan Cornell University, Benedict ROG Anderson dan Ruth McVey. Dalam literatur tersebut menjelaskan bahwa peristiwa G30S adalah puncak konflik internal Angkatan Darat. Sejarawan Harold Crouch dalam Army and Politics in Indonesia (1978) menjelaskan bahwa Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) pecah menjadi dua faksi menjelang tahun 1965. Kedua faksi ini sama-sama anti-PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Soekarno. Kelompok pertama disebut faksi tengah. Mereka adalah kelompok pimpinan Letjen TNI Ahmad Yani yang loyal terhadap Presiden Soekarno. Tetapi menentang kebijakan Soekarno terkait persatuan nasional karena adanya PKI. Kelompok kedua disebut faksi kanan. Mereka adalah kelompok yang menentang kebijakan Ahmad Yani yang bernafaskan Soekarnoisme. Jenderal TNI A.H. Nasution dan Mayjen TNI Soeharto berada dalam faksi ini. Peristiwa G 30 S dengan dalih menyelamatkan Soekarno dari kudeta Dewan Jenderal, sebenarnya ditujukan bagi perwira-perwira utama faksi tengah untuk melapangkan jalan bagi perebutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan Angkatan Darat. Soekarno
Keterlibatan Soekarno dalam film Pengkhianatan G30S/PKI-tvMuChannel-Youtube Terdapat tiga buku yang mendukung versi Soekarno sebagai pelaku peristiwa G 30 S. Pertama, buku Anatomy of the Jakarta Coup, October 1, 1965 (2004) karya Victor M. Fic. Kedua, buku Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno karya Lambert Giebels. Ketiga, buku The Sukarno File, 1965-67: Chronology of a Defeat (2006), yang sebelumnya terbit dengan judul The Devious Dalang: Sukarno and So Called Untung Putsch: Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko (1974). Menurut Asvi, ketiga buku tersebut “mengarah kepada de-Soekarnoisasi yaitu menjadikan presiden RI pertama itu sebagai dalang peristiwa Gerakan 30 September dan bertanggung jawab atas segala dampak kudeta berdarah itu.” Ketika buku Sukarno File (2005) karya Dake terbit di Indonesia. Keluarga Soekarno memprotes keras dan menyebutkan sebagai pembunuhan karakter terhadap Soekarno. Atas hal tersebut, Yayasan Bung Karno menerbitkan buku Bung Karno Difitnah (2006) untuk menyanggah buku tersebut. Cetakan keduanya memuat bantahan dari Kolonel CPM Maulwi Saelan, wakil komandan Resimen Tjakrabirawa. Soeharto
Keterlibatan Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S/PKI-tvMu Channel-Youtube Kolonel Abdul Latief sebagai Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti Komando Daerah Militer V dalam Pledoi Kolonel A. Latief: Soeharto Terlibat G 30 S (1999) mengatakan bahwa Latief melaporkan akan adanya G 30 S kepada Soeharto di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim Jakarta pada 28 September 1965. Bahkan, empat jam sebelum G 30 S dilaksanakan pada malam hari 30 September 1965, Latief kembali melaporkan kepada Soeharto bahwa operasi tersebut akan dieksekusi pada dini hari 1 Oktober 1965. Menurut Latief, Soeharto tidak melarang atau mencegah operasi tersebut. Menurut Asvi, fakta bahwa Soeharto bertemu dengan Latief dan mengetahui rencana G30S, tetapi tidak melaporkannya kepada Ahmad Yani atau A.H. Nasution, menjadi titik masuk bagi analisis “kudeta merangkak” yang dilakukan Soeharto. Ada beberapa varian kudeta merangkak, antara lain yang disampaikan oleh Saskia Wierenga, Peter Dale Scott, dan Soebandrio, mantan kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) dan menteri luar negeri. Menurut Soebandrio dalam Kesaksianku tentang G 30 S (2000), terdapat empat tahapan dalam menjelaskan rangkaian peristiwa G 30 S dari 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak. Tahapan pertama, menyingkirkan para jenderal pesaing Soeharto melalui pembunuhan pada 1 Oktober 1965. Kedua, membubarkan PKI, partai yang memiliki anggota jutaan dan pendukung Soekarno. Ketiga, menangkap 15 menteri yang loyal kepada Presiden Soekarno. Terakhir, mengambil alih kekuasaan dari Soekarno. CIA (Central Intelligence Agency)
Keterlibatan CIA dalam peristiwa G30S--CIA Sebagai konsekuensi dari Perang Dingin tahun '1960an, negara Barat seperti Australia, Inggris, Jepang, dan Amerika memiliki kepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis. Untuk itu, Amerika Serikat menyiapkan beberapa opsi terkait situasi politik di Indonesia. Menurut David T. Johnson dalam Indonesia 1965: The Role of the US Embassy , beberapa opsinya meliputi. Yakni (1) membiarkan saja; (2) membujuk Soekarno beralih kebijakan; (3) menyingkirkan Soekarno; (4) mendorong Angkatan Darat untuk merebut pemerintahan; (5) merusak kekuatan PKI dan merekayasa kehancuran PKI sekaligus menjatuhkan Soekarno. Dari kelima opsi tersebut, ternyata opsi terakhir yang dipilih. Sejarawan John Roosa juga mengungkapkan bahwa pada akhir 1965, Amerika Serikat memberikan perangkat komunikasi radio lapangan yang sangat canggih ke Kostrad. Antenanya dipasang di depan markas besar Kostrad. Kathy Kadana sebagai wartawan investigasi pernah melakukan wawancara dengan para mantan pejabat tinggi Amerika Serikat di akhir '1980an. Isi wawancara tersebut menjelaskan bahwa Amerika Serikat telah memantau komunikasi Angkatan Darat melalui radio-radio tersebut. Amerika Serikat juga memberikan bantuan dana sebesar Rp 50 juta (sekitar USD 10.000) untuk membiayai kegiatan KAP Gestapu (Komite Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh). CIA juga memberikan daftar nama-nama tokoh PKI kepada Angkatan Darat. (*)