Menjadi Guru Besar

Jumat 06-10-2023,14:42 WIB
Oleh: Dwi Setyawan & Bagong Suyanto

UPACARA pengukuhan guru besar Universitas Airlangga yang digelar di Aula Garuda Mukti, kantor Manajemen Lantai V Kampus C Universitas Airlangga tanggal 4 Oktober 2023 kemarin agak berbeda. Biasanya guru besar yang dikukuhkan empat orang. Tetapi kali ini ada tujuh guru besar yang sekaligus dikukuhkan di hari yang sama.

Tujuh guru besar yang dikukuhkan adalah: Prof Trias Mahmudiono SKM MPH (Nuts) GCAS PhD; Prof Dr Santi Martini dr MKes; Prof Dr Ratna Dwi Wulandari SKM MKes; Prof Itra Nurmala SKM MPH PhD; Prof Dr Erma Safitri drh MSi; Prof Dr Epy Muhammad Luqman drh MSi; dan Prof I Gede Wahyu Wicaksana SIP MSi PhD. Empat guru besar berasal dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), dua orang dari Fakultas kedokteran Hewan (FKH) dan satu orang dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilm Politik (FISIP).

Universitas Airlangga tahun ini sedang panen guru besar. Jika di tahun-tahun sebelumnya hanya sekitar 30-an guru besar yang dikukuhkan, sepanjang tahun 2023 ini ada 70 lebih guru besar yang dikukuhkan. Semua adalah para dosen terpilih yang memiliki segudang prestasi dan telah memenuhi syarat untuk dikukuhkan menduduki jabatan tertinggi di bidang akademik perguruan tinggi.

BACA JUGA:Profesionalisme, Humanisme, Kesejahteraan SDM Jurnalistik dan Kreator Konten

Seperti dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Untuk menduduki jabatan akademik guru besar/profesor, harus memiliki kualifikasi akademik doktor. Selain itu, seorang guru besar juga harus memiliki memiliki karya ilmiah artikel jurnal internasional dan juga karya akademik lain yang merepresentasikan kompetensi keilmuannya.

Menjadi Guru Besar

Saat ini, tidak mudah menjadi guru besar. Seorang guru besar bukan saja harus memiliki pengalaman mengajar minimal 10 tahun, pernah membimbing mahasiswa program doktor hingga membuat buku ataupun jurnal ilmiah penelitian dengan kualitas yang berbobot dan terpublikasi internasional. Tetapi, lebih dari itu seorang guru besar juga harus memiliki keteladanan, integritas moral, dan jejak reputasi akademik yang membanggakan.

Semua dosen bisa dan berhak menjadi guru besar sepanjang memenuhi berbagai persyaratan administratif. Tetapi, seorang guru besar yang disegani niscaya harus mampu memperlihatkan karya monumental yang mencerahkan dan bermanfaat bagi masyarakat maupun dunia akademik.

Guru besar bukanlah gelar akademik seperti sarjana, magister, ataupun doktor, melainkan jabatan fungsional atau jabatan akademik tertinggi yang bisa diraih oleh tenaga pendidik atau dosen. Terdapat empat jenjang jabatan fungsional dalam dunia profesi dosen, ada asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan yang tertinggi adalah guru besar. Guru besar adalah karir akademik tertinggi yang menjadi hak sekaligus diperjuangkan para dosen untuk dapat diraih. Meski tidak semua dosen dapat menjadi guru besar, tetapi semua dosen bisa dipastikan bercita-cita menjadi guru besar.

Untuk bisa menjadi guru besar, seorang dosen harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya adalah memiliki ijazah doktor (S-3), dan memiliki karya ilmiah yang telah dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi, seperti Scopus, Thomson Reuters, dan lain-lain. Pengajuan menjadi profesor dapat dilakukan setelah minimal tiga tahun lulus dari jenjang S-3. Kompetensi guru besar diperlihatkan dari buku yang dihasilkan. Bidang ilmu guru besar bukan hanya terlihat dari judul pidato pengukuhannya, namun juga terlihat dari buku referensi yang telah dihasilkan.

Jumlah kum atau angka kredit yang harus dipenuhi dosen yang ingin menjadi guru besar minimal mencapai kum 850 poin hingga 1050 poin. Agar dapat mencapai kenaikan jabatan fungsional dari jenjang asisten ahli, lektor, lektor kepala hingga ke guru besar, dosen harus mengumpulkan poin angka kredit sejumlah tertentu, yang dikumpulkan sedikit demi sedikit. Kum yang dikumpulkan sudah barang tentu meliputi kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tidak hanya kum di bidang pengajaran, seorang guru besar juga harus memenuhi kum di bidang kegiatan pengabdian kepada masyarakat dan penelitian –termasuk menghasilkan karya ilmiah bereputasi internasional.

Guru besar adalah kombinasi sosok pendidik, pengabdi masyarakat dan juga sekaligus peneliti. Guru besar bukan hanya dituntut mengabdikan karirnya dalam proses pembejaran di kampus, tetap juga dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan keilmuan. Seorang guru besar harus terus mengakumulasikan dan membagi ilmunya pada generasi muda, sekaligus berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara. Guru besar bukan ilmuwan di menara gading. Ia adalah ilmuwan yang dituntut untuk menulis karya ilmiah yang dideseminasikan, serta berdampak pada bidang keilmuan yang ditekuninya.

Guru besar harus mampu menjadi motor penggerak perubahan. Bagi seorang dosen, menjadi guru besar adalah gabungan antara ambisi, prestasi, gengsi, sensasi, dan peningkatan kesejahteraan ekonomi. Sebagian guru besar yang ambisius, mereka bisa saja menempuh jalan pintas untuk menjadi guru besar. Seorang guru besar yang tidak menjaga kehormatan, bukan tidak mungkin terjerumus dalam tindakan yang memalukan: sekadar menghasilkan karya ilmiah, namun tidak menimbang dengan bijak cara yang dilakukan hingga dapat menulis artikel jurnal internasional yang menjadi syarat khusus kenaikan pangkat menjadi guru besar.

Kehormatan

Menurut data Statistik Pendidikan Tinggi 2021, dari sebanyak 320.052 dosen di berbagai PT di Indonesia,  saat ini hanya 7.192 (2,25 persen) yang bergelar profesor. Jumlah ini masih jauh dari memadai dan kurang dari jumlah ideal profesor di Indonesia yang seharusnya sebanyak 10 persen dari total dosen secara keseluruhan.

Kategori :