Cowok Normal Bisa Jadi Gay?

Kamis 26-10-2023,08:52 WIB
Oleh: Stebby Julionatan *)

APAKAH normalitas itu? Bukankah normal hanya sebatas performativitas? Hanya sebatas kesepakatan komunal mengenai hal-hal bisa dan tidak bisa, wajar, dan tidak wajar untuk dilakukan.

Hal tersebut juga sangat bergantung wilayah geografis, waktu, adat, budaya, agama, kepercayaan, bahkan identitas gender.

“Kenapa cowok yang “normal”, dia menikah, tiba-tiba bisa menjadi gay?” Begitulah pertanyaan kawan saya. Ia mengatakan demikian setelah membaca resensi novel Aristotle and Dante yang saya tulis di sebuah harian nasional.

Dia ingin tahu dan sepertinya butuh penjelasan yang ilmiah mengapa hal tersebut bisa terjadi pada laki-laki yang ia sangka heteroseksual.

Sebagai kawan, saya bisa dengan lebih mudah menjawabnya dengan memberi pertanyaan juga. Apakah cowok yang menikah bisa selalu dipastikan ”normal”?

BACA JUGA: Bobroknya Indonesia Versi Mahfud MD

Saya sampaikan padanya bahwa saya tak begitu nyaman ketika ia menggunakan kata “normal” untuk menyebut kelompok heteroseksual. Hal yang bisa saja berarti bahwa kelompok non-heteroseksual adalah orang-orang yang kebalikannya yakni bukan/tidak “normal”.

Di sinilah ada pertanyaan: apakah normalitas itu? Hal-hal sesimpel kutang, merokok, dan penutup kepala bagi perempuan, bisa menjadi hal yang penuh perdebatan mengenai normal dan tak normalnya, wajar dan tak wajarnya, di tengah tumbukan persimpangan identitas dan di mana perempuan yang tengah dihakimi tersebut berada. 

“Normal” adalah hal yang jamak dan telah terbiasa dilakukan oleh sebagian besar masyarakat di dalam suatu kelompok/komunitas tertentu dan di dalam waktu tertentu. Sehingga sebagai bagian dari mayoritas tersebut, kita menganggapnya sebagai sebuah kebenaran dan kewajaran. 

Lagipula, untuk isu terkait LGBTIQ+, bukankah sejak 1982, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan LGBT dari daftar penyakit kejiwaan. Dalam artian secara sadar dunia medis mengakui bahwa homoseksualitas bukanlah gangguan kejiwaan, kesehatan, dan penyimpangan seksual.
Kemenkes mengeluarkan LGBT dari penyakit kejiwaan melalui PPDGJ No.3 sejak tahun 1983. Tapi sayang telah 40 tahun berlalu tapi banyak orang menganggap LGBTIQ+ sebagai hal yang tabu, penyakit, tidak normal, dan terlarang. -Pexels-

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mengeluarkan LGBT dari penyakit kejiwaan melalui PPDGJ No.3 sejak tahun 1983. Telah 40 tahun berlalu dan saya masih merasa -dengan pertanyaan yang diajukannya- bahwa kawan saya menganggap LGBTIQ+ sebagai hal yang tabu, penyakit, tidak normal, dan terlarang.

Ada dua jawaban. Pertama, bisa jadi cowok yang dia katakan “normal” itu memang seorang gay yang terjebak pada perkawinan lavender. Pernikahan lavender adalah perkawinan heteroseksual yang dilakukan untuk menutupi orientasi seksual salah satu atau kedua pasangan. 

Istilah tersebut awalnya lazim digunakan untuk menggambarkan perkawinan selebriti di awal abad ke-20. Utamanya sebelum masa Perang Dunia II ketika sikap publik membuat seseorang yang mengaku homoseks tidak mungkin mengejar karier publik. Terutama di industri film Hollywood. 

Sebenarnya penggunaan paling awal dari frasa ini muncul di dunia pers di Inggris pada 1895, pada saat warna lavender atau ungu dikaitkan dengan homoseksualitas. Bukankah di Indonesia, dalam kurun waktu saat ini, warna lavender/ungu justru identik dengan janda?

Namun, seiring dengan perkembangan zaman, individu dari semua lapisan masyarakat menggunakan “kemudahan” yang didapatnya dari “metode” tersebut agar tidak teropresi dan teralienasi dari lingkungan sosialnya yang pekat heteronormativitas. 

Kategori :