HARIAN DISWAY - Setelah singgah di Candi Kerajaan dan Candi Gajah, perjalanan berikutnya menuju Candi Wayang. Dari Candi Gajah, kira-kira memakan waktu sekitar satu jam dengan medan yang tak kalah seru dari yang sudah-sudah.
Semua sudah saya alami. Terperosot, meluncur tanpa kendali, dan selamat dengan berpegangan semak belukar, ranting, atau akar pohon karena tongkat pendakian yang saya salah gunakan.
Semua itu sangat biasa. Tak masalah. Alon-alon asal kelakon, sampai. Begitulah prinsip saya selama pendakian ke salah satu perwara Pawitra, Gunung Gajah Mungkur.
Tiba-tiba, mata berbinar sangat terang, terasa dipenuhi banyak bintang, ketika saya menatap Candi Wayang di bawah. Tak jauh dari kedua kaki yang berserah di antara semak belukar karena tubuh tergelincir di jalur berpasir.
Candi ini terletak di antara lembah sisi selatan Gunung Gajah Mungkur dan sisi utara Gunung Pawitra. Sayang, candi tidak utuh lagi. Bahkan ada bagian relief yang hilang. Bentuk yang tersisa hanya berupa bentangan panel batu andesit. Berukuran panjang 413 cm, lebar 55 cm, dan tinggi 100 cm.
BACA JUGA: Spiritual Journey Seruni Niskala di Perwara Pawitra (4-Habis): Turun Mengantar Pulang
Dari bentangan tersebut terlihat pahatan relief bergambar orang serta mahkluk yang membawa gada. Relief berupa orang-orang yang berjejer itu konon adalah penggambaran cerita Panji.
Saya bersama Pasukan Pawitra mengambil momen di depan Candi Kerajaan, candi yang saya singgahi sebelum berangkat ke Candi Wayang. -Kirana Kejora-
Sedikit bercerita, Gajah Mungkur adalah salah satu perwara dari delapan perwara Gunung Pawitra. Kawasan pegunungan yang terdiri dari puncak utama (1.653 mdpl).
Dikelilingi oleh delapan puncak pengawalnya yakni: Bukit Bekel (1.240 mdpl); Bukit Sarahklopo (1.235 mdpl); Bukit Kemuncup (1.238 mdpl); Bukit Gajah Mungkur (1.084 mdpl); Bukit Jambe (747 mdpl); Bukit Semodo (719 mdpl); Bukit Bende (927 mdpl); dan Bukit Wangi (987 mdpl).
Gunung Pawitra merupakan replika dari Gunung Meru. Dalam kosmologi Hindu maupun Buddha dianggap sebagai gunung suci. Maka, pada zaman dahulu sangat disucikan.
Mahameru gunung suci, pusat alam semesta sekaligus poros penghubung antara mikrokosmos (buana alit) dengan makrokosmos (buana ageng). Puncaknya adalah tempat bersemayam sang Jagatnatha (pengatur jagat).
Pada delapan penjuru arah mata anginnya ditinggali para dewa penjaga. Kesucian Gunung Pawitra dibuktikan dengan adanya lebih dari seratus bangunan suci berupa kompleks percandian.
Sebagian candi dibangun membelakangi puncaknya, agar para resi beribadah bisa langsung menghadap ke arah puncak gunung yang diyakini sebagai tempat para Dewa bersemayam.
Pawitra dalam Prasasti
Nama Pawitra atau Penanggungan tertulis dalam Prasasti Cunggrang bertarikh 851 Çaka atau 929 Masehi yang dikeluarkan Mpu Sindok. Termuat di dalam prasasti pada baris ketujuh.