Kna ri sang hyang dharmmasrama ing Pawitra muang i sang hyang prasada silunglung sang siddha dewata. Artinya, memelihara dharmmasrama (asrama yang mengajarkan kebaikan/pertapaan) suci di Pawitra dan prasada (menara kuil) suci silunglung dari siddha dewata.
Juga tertera pada baris kesembilan. Nguniweh sang hyang muang umahayua sang hyang tirtha pancuran ing Pawitra. Artinya, bekerja untuk (dharmmasrama dan prasada) suci dan merawat pancuran air suci di Pawitra.
Pada masa sejarah klasik terdapat tiga agama. Kasaiwan (Syiwa/Hindu), Kasogatan (Buddha), dan Karesian (Kedewaguruan). Darmma (tempat suci keagamaan) kaum resi di lereng Gunung Pawitra pernah dikunjungi Raja Hayam Wuruk yang tertulis dalam Kakawin Nãgarakṛtãgama atau Deçawarṇana karya Mpu Prapanca.
Kakawin Nãgarakṛtãgama pupuh 58 bait 1 berbunyi, warnnan i sahnira riɳ jajawa riɳ padameyan ikaɳ dinunuɳ, mande cungran apet kalanön/numahas iɳ wanadeçalnöɳ, darmma karsyan i parçwanin acala pawitra tikaɳ pinaran, ramya nikan panunaɳ luralurah inikhötnira bhasa khiduɳ.
Artinya, diuraikan lagi seperginya beliau Prabu Hayam Wuruk dari Jajawa. Candi Jawi ke Desa Padameyan berhenti di Desa Cungrang mendapat keindahan masuk hutan rindang, lalu mengaguminya. Darmma kaum resi di lereng Gunung Pawitra/Penanggungan dikunjungi. Tempat yang menawan memandang ke bawah jurang lembah dilengkapi dengan senandung kidung.
Relief percandian Gunung Pawitra didominasi cerita Panji. Genre susastra asli lokal yang lepas dari cerita epos Mahabarata maupun Ramayana. Asli Nuswantara. Relief cerita Panji bisa dilihat dari khas bentuk penutup kepala tokoh-tokohnya yang disebut tekes dan jalinan rambut disebut supit urang.
Cerita Panji memiliki bertema hilangnya seorang putri raja yang ditemukan kembali oleh seorang pangeran. Setelah sang pangeran berhasil mengalahkan lawan dari ayah sang putri. Cerita romantis Panji sangat populer dengan beragam versi dari Sabang sampai Merauke.
Candi Wayang di depan saya ini terletak di antara lembah sisi selatan Gunung Gajah Mungkur dan sisi utara Gunung Pawitra. Sayang, candi tidak utuh lagi. -Kirana Kejora-
Ada lagi naskah kuno dari daun nipah, karya Bujangga Manik, berbahasa Sunda kuno. Mengisahkan perjalanan spiritual dirinya, seorang pangeran dari Kerajaan Pakuan Pajajaran yang meninggalkan keluarganya untuk menuntut ilmu di Jawa. Dalam perjalanannya ke arah timur, ia melewati Kota Majapahit, mendaki Gunung Pawitra dan berkunjung ke Gunung Gajah Mungkur yang suci.
Nama Gajah Mungkur diduga merujuk pada salah satu dari delapan bukit atau perwara -anak gunung- yang mengelilingi Gunung Pawitra. Ia menawarkan kesunyian yang lampus. Membawa suasana pengembaraan yang menyenangkan. Sekaligus menyuarakan ambiguitas perjalanan hidup.
BACA JUGA: Spiritual Journey Seruni Niskala di Perwara Pawitra (1): Mencari Hening demi Novel
Naskah sang pujangga, Bujangga Manik, tersimpan di Perpustakaan Bodley di Universitas Oxford sejak 1627. Terdiri 29 lembar daun nipah, yang masing-masing berisi sekitar 56 baris kalimat, terdiri dari 8 suku kata.
Di candi inilah, saya keluarkan buku Seruni Niskala. Saya ajak ia ”hening” bermunajat pada Sang Pemilik Kehidupan. Agar diberi-Nya ruh melanjutkan amanah trah dari para karuhun -leluhur-. Semoga, kami, penuturnya diberi kekuatan untuk menyelesaikan.
Sekitar 20 menit saya ”semadi” sebelum bergabung lagi dengan pasukan yang sedang berteduh di pondok kecil. Lelah yang terbayar mahal. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju candi keempat. Sesuai permintaan saya; begitu senja turun, kita semua segera pulang. (Oleh Kirana Kejora: Writerpreneur, Pendiri Elang Nuswantara)