JAKARTA, HARIAN DISWAY - Ammarjah Purba, Wakil Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, mengeluarkan kritik terhadap pernyataan Presiden RI, Joko Widodo, yang menyatakan bahwa presiden dan menteri diizinkan untuk berkampanye dan mendukung pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) tertentu.
Meskipun ada regulasi yang mengizinkan presiden untuk berkampanye, Ammarsjah Purba menilai hal ini sebagai isu etika yang melampaui batas hukum.
"Memang tersedia regulasi, bahwa presiden boleh berkampanye bagi pasangan tertentu, namun ini persoalannya lebih pada etika, bahwa di atas hukum masih ada etika," ujar Wakil Ketua TPN, Ammarsjah Purba di Jakarta, hari Minggu, 28 Januari 2024.
Ammar mengkhawatirkan bahwa keberpihakan presiden dapat berdampak substansial pada Pemilu 2024, terutama terkait potensi penyelewengan anggaran publik.
Ia menyoroti penggunaan anggaran untuk perlindungan sosial dan bantuan sosial sebagai contoh ketidakadilan logistik dalam kampanye Capres-Cawapres.
"Ini hanya salah satu contoh ketidakadilan dari sisi logistik capres-cawapres, ketika presiden benar-benar berkampanye," tambah Ammar.
Lebih lanjut, Ammar menegaskan bahwa netralitas presiden adalah prinsipil, terutama mengingat posisinya sebagai Panglima Tertinggi TNI yang memimpin Polri dan BIN (Badan Intelijen Negara).
BACA JUGA:Nama Organisasi Dicatut, DPP GAMKI Minta TPN Ganjar-Mahfud Meminta Maaf
BACA JUGA:Jokowi Klarifikasi Pernyataan Presiden Boleh Kampanye dan Memihak
Ia menyampaikan kekhawatiran bahwa bila presiden tidak netral, aparat negara dapat dimanfaatkan dengan menggunakan kekerasan sesuai undang-undang.
Ammar juga memperingatkan tentang dampak kampanye presiden di tingkat daerah, di mana pejabat daerah dapat terlibat dalam mempengaruhi opini publik terhadap paslon tertentu.
Calon Presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo, tiba di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat, 26 Januari 2024. Ia disambut meriah oleh tokoh adat setempat.-TPN Ganjar-Mahfud MD-
Ia juga menekankan perlunya pengawasan dan regulasi yang ketat terhadap perilaku pejabat publik untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau pelanggaran etika yang merugikan demokrasi.
“Niat presiden untuk kampanye akan berdampak di daerah, seperti di provinsi, kabupaten dan kota. Menjadi keprihatinan kita bersama, ketika pejabat daerah mengajak publik memilih paslon tertentu," tegas Ammar.
"Memang tidak ada solusi instan, karena sekali lagi ini soal etika, bila pejabat publik sudah tidak memiliki etika, masyarakat hanya bisa mengelus dada. Artinya perjuangan kita masih panjang, bagaimana menghentikan politik dinasti di depan mata yang mencederai demokrasi,” tegasnya. (**)