Amel (17 tahun) menulis: Ada yang menarik dari pertemuan dengan Mbak Debra Yatim, yaitu saya baru tahu bahwa puisi tuh ada banyak macamnya. Unik juga cara penyampaian puisinya. Dan satu hal lagi, kita harus berpikir secara kritis.
Saya ingin berterima kasih kepada Pak Stebby selaku guru bahasa Indonesia saya karena telah mendekatkan kami anak didiknya dengan sosok-sosok sastrawan dan memperkenalkan kita dengan sastra Indonesia.
Zekha (17 tahun) menulis demikian: Sangat menyenangkan karena dapat menerima pembelajaran dengan cara yang berbeda. Dapat mengenal perkembangan sastra Indonesia sangatlah menyenangkan dan menambah wawasan kita tentang sejarah yang jarang dicertakan.
Sebuah impresi yang menakjubkan datang dari siswa kelas 11 IPA 1. Ia menulis: Sebagai penikmat sastra saya bisa mengetahui sejarah pada masa pemerintahan Soeharto. Di zaaman itu pemerintah menekan sastrawan agar tidak menyebarkan keburukan para penguasa. Namun, ada beberapa sastrawan yang menentang hal tersebut dan membuat tulisan yang menentang pemerintah.
Cia (16 tahun) mengatakan jika pembelajaran mengenal Peta Sastra Indonesia dirasanya cukup berat dan membosankan. Cia yang lebih suka membaca manhwa (sebutan untuk komik asal Korea Selatan) terpaksa membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari karena ia mendapat kata kunci realis.
Ia menulis demikian: Lewat membaca sastra saya bisa merasakan dan tersentuh dengan keberanian, tekad, dan ketidakberuntungan (nasib) yang mereka alami. Sebagai contoh, saya suka pada karakter Yi-joo di dalam Perfect Marriage Revenge. Lewat Yi-joo saya merasa bahwa seburuk apa pun situasi kita, kalau mau berusaha, Yi-joo bisa membuktikan bahwa dirinya patut dihargai.
Perfect Marriage Revenge yang Cia sebut dalam respons baliknya di di atas adalah contoh manhwa yang ia baca melalui aplikasi Webtoon. Pada Oktober 2023 manhwa tersebut telah dibuat versi series-nya dengan aktris cantik Jong Yo-Min berperan sebagai tokoh utama Han Ji-yu.
Kembali ke Peta Sastra, dari apa yang keempat murid saya sampaikan di atas, terlihat bahwa meski “cenderung sulit”, metode 11+1 Membaca Peta Sastra Indonesia bagi mereka adalah cara belajar sastra yang berbeda. Pengalaman baru dalam mempelajari sastra Indonesia yang tubuh mereka alami.
Melaluinya pula, mereka mengerti tentang sejarah Indonesia yang belum atau tidak disampaikan dalam pelajaran sejarah yang mereka terima di sekolah. Tampak ada kerinduan di dalam diri mereka untuk semakin mengenal bangsanya.
Ayu Utami, Debra Yatim, dan Danny I Yatim tengah mengevaluasi dan menjuri hasil belajar setelah 8 kali pertemuan. -Stebby Julionatan-
Pola 11+1 Membaca Peta Sastra memang bukan satu-satunya metode mengenalkan sastra, khususnya sastra Indonesia, kepada siswa; bukan pula satu-satunya cara membangun afeksi siswa.
BACA JUGA: Aroma Lokal Meriahkan Pentas Sastra dan Peluncuran Buku di Midtown Hotel Surabaya
Saya pun paham bahwa proses membangun afeksi pada siswa memang tidak bisa sesingkat itu, sesingkat waktu satu bulan perjalanan mereka membaca peta sastra.
Cia, adalah siswi yang beruntung. Dia tak hanya belajar dari kelas saya. Tetapi dia juga belajar dari bacaan-bacaan yang telah dia baca sebelumnya. Tak semua anak memiliki akses dan dukungan terhadap literasi. Tapi paling tidak, metode ini membuat siswa mengenal bahwa ada kehidupan lain di luar kehidupannya.
Bahwa ada agama lain di luar agama yang dipeluknya. Ada paham lain di luar paham Pancasila yang digenggam teguh oleh bangsa ini, dan atau ada suku lain di luar sukunya yang membangun keindonesiaan yang ia kenal.
Dan, mereka jadi berempati terhadap beragam perbedaan tersebut. (*/Heti Palestina Yunani)
Oleh Stebby Julionatan: Penulis, alumnus Kajian Gender Universitas Indonesia