Membaca Peta Sastra: Menghentikan Kekerasan oleh Anak (1): Meracuni Bacaan, Mengusir yang Dulce

Rabu 24-01-2024,08:18 WIB
Reporter : Stebby Julionatan
Editor : Heti Palestina Yunani

HARIAN DISWAY - Umumnya pembaca sastra lebih sadar bahwa manusia adalah sehimpun pengalaman tubuh yang kompleks. Manusia bukanlah segumpal pemikiran yang dapat disederhanakan menjadi hitam atau putih. Dan manusia, bukanlah jiwa yang muncul dari kekosongan.

Ini hasil keresahan saya ketika mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia di SMA Asisi, Jakarta. Ada lima kelas; 4 kelas 11 dan 1 kelas 12 IPA.

Selama dua semester di tempat itu, saya menyaksikan bahwa murid-murid saya tidak dekat dengan sastra. Mereka tidak membaca bahkan tidak mengenal para sastrawan Indonesia.

BACA JUGA: Bagikan Cara Menulis Fiksi dalam Kembara Sastra dalam Dunia Rempah Nusantara oleh Perlima, Ini Arahan Kurnia Effendi!

Sastra yang saya maksud tersebut adalah puisi atau prosa Indonesia kanonik. Semisal: mereka tak mengenal kebinatangjalangan Chairil Anwar, mereka tak tahu Robohnya Surau Kami-nya A. Navis, atau mereka belum membaca serial kenangan NH. Dini. 

Temuan tersebut membuat saya terhenyak. Sebab semasa saya seusia mereka dan tengah menempuh pendidikan dasar, para sastrawan yang saya sebut di atas adalah orang-orang yang karyanya setiap tahun dibahas di dalam buku diktat sekolah. Bersama dengan karya-karya seperti Sitti Nurbaya, Layar Terkembang, Kalau Tak Untung, dan Sengsara Membawa Nikmat. 

Sitti Nurbaya dan Sengsara Membawa Nikmat versi layar kaca pada ’90an bahkan melambungkan nama aktris Novia Kolopaking dan Sandy Nayoan. 

Saya makin terhenyak karena lokasi sekolah yang saya ampu ini tak jauh dari tempat di mana para sastrawan seperti Iwan Simatupang, Chairil Anwar, dan Pramoedya Ananta Toer disemayamkan.

Saya penasaran dengan yang mereka baca. Sebagian besar murid saya yang laki-laki menjawab bahwa ternyata mereka tak suka membaca. Lebih suka bermain game online, nonton bola, film action, mendengarkan musik, atau bahkan coba-coba judi online. 

Murid perempuan lebih punya preferensi bacaan. Memang kebanyakan yang dibaca adalah karya-karya yang tersebar di platform Wattpad atau Novelme. Untuk buku fisik, syukurlah mereka masih mengenal Dilan dan membaca beberapa novel Tere Liye.

Entahlah, sebenarnya apakah saya harus beryukur dengan kondisi murid-murid saya yang demikian?


Kurnia Efendi (hem merah muda) ikut membantu mengajar. Ia dan kawan-kawan sastrawan lain yang ikut peduli pada isu keringnya pengajaran sastra pada kurikulum pendidikan di Indonesia. -Stebby Julionatan-

Sebagai latar belakang saja, saya berasal dari Probolinggo. Saya menghabiskan sebagian besar kehidupan di salah satu kota di Jawa Timur itu. Ibu saya seorang guru bahasa Indonesia. Ia mengajar di salah satu SMP negeri di Probolinggo. 

Setidaknya soal sastra, boleh dibilang saya terpapar pada sejak kecil. Sebagai contoh, saya membaca serial kenangan N.H. Dini semaca SMP. Membaca Raumanen dan Burung-Burung Manyar serta bacaan sastra populer di masa itu seperti novel-novel karangan Mira W. dan Marga T ketika SMA. 

Nah, ketidakterpaparan siswa pada sastra itu mengusik saya. Setiap membuka pelajaran saya membawa dan membacakan beberapa paragraf awal buku-buku sastra Indonesia yang saya sukai. Saya membacakan Saman karya Ayu Utami, Pulang-nya Leila S. Chudori, atau Cantik Itu Luka-nya Eka Kurniawan.

Kategori :