ADA yang bilang, meninggal paling enak adalah ketika sedang berada di puncak kejayaan dan nama sedang bagus-bagusnya. Almarhum Didi Kempot, misalnya. Ia mangkat tatkala jutaan "sobat ambyar" sedang mengagungkannya.
Mungkin inilah mengapa Chairil Anwar mengatakan dalam satu bait syairnya yang terkenal, tapi mungkin Anda tidak tahu apa judul puisinya, "Sekali berarti, sudah itu mati."
BACA JUGA: Cheng Yu Pilihan Pengusaha Muda Asal Surabaya Daniel Oktavianus: Tian Dao Chou Qin
Dalam artian, sebelum dipanggil Tuhan, buatlah hidup kita bermanfaat dulu. Setidaknya bagi keluarga. Tentu, kalau bisa, juga bagi nusa dan bangsa. Jangan biarkan keberadaan kita di dunia sia-sia seperti dinyatakan pepatah Arab, "Wujuduhu ka'adamihi" (adanya sama dengan tidak adanya).
Tapi, barangkali tak bisa disalahkan juga kalau ada orang yang menurunkan patokannya menjadi "tak membawa manfaat pun tak masalah, yang penting tidak bikin ruwet orang." Sebab, memang acap pula kita jumpai orang-orang yang bikin kita gregetan untuk tidak menyerapahi dan mengharapkan mereka lebih baik diam saja.
Namun demikian, bisa berbuat banyak untuk khalayak alangkah baiknya jika tetap dijadikan sebagai tujuan hidup kita --kendati ada ungkapan Mandarin yang mengingatkan, "好人难当" (hǎo rén nán dāng): menjadi orang baik sulitnya minta ampun.
Dan, itulah yang agaknya dirasakan Nathanael Budhi Susilo (王祥俊). "Menyuarakan keadilan dan kebenaran merupakan panggilan hati saya. Seperti bersuara vokal dan berjuang mengenai Fasad Malioboro yang asli. Juga tentang diskriminasi pertanahan di Yogya. Sampai-sampai saya di-Ahok-kan 8 bulan," ungkap aktivis Tionghoa yang membuka toko souvenir di Malioboro tersebut.
"It's okay. Bagi saya, penjara bukan akhir segalanya. Malah saya jadikan sebagai babak baru dalam kehidupan saya," tambah pria yang tengah menyelesaikan gelar akademik ketujuhnya, di bidang hukum ini.
Tampaknya, Budhi ingin mengamalkan pepatah klasik "士可杀不可辱" (shì kě shā bù kě rǔ): petarung sejati rela mati tapi tak rela dinistakan. (*)