LINGKUNGAN kini menjadi isu yang seksi di pasar keuangan. Itu bisa dilihat dari tren penerbitan berbagai instrumen keuangan berbasis green. Ada green bond, yakni utang pemerintah yang khusus digunakan untuk membiayai proyek hijau. Proyek yang pro pada perlindungan dan perbaikan lingkungan.
Green bond kini juga disusul green sukuk. Semacam utang pemerintah yang menggunakan akad-akad yang sesuai syariah Islam. Sesuai namanya, hasil emisi green sukuk digunakan khusus untuk membiayai proyek hijau.
Green bond dan green sukuk selama ini menjadi andalan green financing. Instrumen pembiayaan yang bertujuan memperoleh dana untuk membiayai proyek-proyek yang ramah lingkungan dan menunjang perubahan iklim. Instrumen itu hadir di pasar modal karena sifatnya long term. Instrumen green financing harus mengurangi emisi CO2 dan mencegah polusi.
BACA JUGA: Sukuk: Ramai di Pusat, Sepi di Daerah
Prospek produk-produk keuangan green itu sangat bagus. Dalam catatan Asian Development Bank (ADB), negara berkembang akan membutuhkan USD 210 miliar per tahun dari 2016 hingga 2030 untuk membiayai investasi infrastruktur untuk mempertahankan momentum pertumbuhan, mengentaskan kemiskinan, dan merespons perubahan iklim.
Inisiatif OI melaporkan bahwa penerbitan green bond tahunan berpotensi mencapai USD 5 triliun pada awal 2025-an. Saat ini kurangnya pendanaan menjadi kendala dalam mewujudkan ekonomi hijau dan pencapaian SDG di banyak negara. Terutama di kawasan berkembang. Karena itu, prospek green bond dan green sukuk ke depan sangat bagus.
Sukuk merupakan instrumen pasar keuangan Islam yang mengalami pertumbuhan sangat pesat dalam beberapa dekade terakhir di berbagai negara. Sukuk menjadi alternatif sumber pendanaan yang diminati karena adanya underlying asset yang membuat skema dalam sukuk mampu menjadikan sektor ekonomi bergerak.
Refinitif, lembaga penyedia data dan infrastruktur pasar keuangan, menyebutkan bahwa penerbitan sukuk global terus meningkat. Pada 2021, misalnya, penerbitan sukuk global mencapai USD 147 miliar. Sempat turun karena Covid-19, kini banyak negara menerbitkan kembali sukuk. Tahun lalu penerbitan green sukuk global mencapai USD 12 miliar.
Indonesia sendiri merupakan penerbit green sukuk pertama di dunia, di tahun 2019. Green sukuk adalah instrumen keuangan inovatif berbasis syariah untuk mendukung komitmen Indonesia dalam memerangi perubahan iklim, pengurangan emisi gas rumah kaca, dan didistribusikan ke proyek ramah lingkungan sesuai kerangka hijau.
Seperti halnya sukuk, green sukuk dalam praktiknya memegang kesesuaian syariah. Tidak mengandung unsur maysir (judi), gharar (ketidakjelasan) dan riba (usury). Di tengah gejolak isu iklim, green sukuk hadir sebagai diversifikasi instrumen pembiayaan guna mengamankan investasi pada proyek berkelanjutan di setiap negara.
Sama halnya dengan sukuk kontemporer yang lahir dari kebutuhan untuk memiliki instrumen yang sesuai dengan syariah dengan karakteristik seperti obligasi, green sukuk menjawab tantangan dari pelestarian lingkungan menggunakan sistem keuangan yang sesuai prinsip keislaman.
Proyek hijau yang dianggap layak untuk mendapat pembiayaan dari sukuk ini harus masuk sejumlah sektor yang ada dalam kerangka green sukuk.
Sektor tersebut, antara lain, energi terbarukan, efisiensi energi, pengurangan risiko bencana akibat perubahan iklim, transportasi berkelanjutan, pengelolaan sampah, pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, pariwisata hijau, gedung hijau, dan pertanian yang berkelanjutan.
Share green sukuk sendiri sebenarnya masih sangat kecil. Green sukuk hanya 0,65 persen dari sukuk dan 0,30 persen dari green bond.
Meski begitu, dengan adanya kesepakatan terbaru dari Paris Agreement (COP), pendanaan green financing akan sangat difokuskan lantaran target Indonesia dalam nationally determined contributions sebesar 31,89 persen pada tahun 2030.