Apa yang harus direnungkan tentang Imlek pastilah bahwa cuatan perayaannya secara kelembagaan dinegarakan berkat rida Presiden Gus Dur saat itu. Maka janganlah dipersepsi yang bukan-bukan mengenai apa yang dilakukan presiden masa itu kecuali menata ulang sejarah yang sedang dikavling-kavling oleh otoritas negara untuk "dimusnahkan".
Di tengah kondisi “memuliakan yang singgah” justru kian ramai pula orang “mengobok persaudaraan”. Bahkan termasuk saat ini apabila pilpres dipenuhi prasangka. Mari mengendapkan jiwa dengan tetap menyadari bahwa suatu budaya yang ideologis dan teologis tidaklah dapat diamputasi oleh siapa pun.
Maka biarlah budaya itu semarak dalam payung yang sama, Republik Indonesia melalui ikrar “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”. Kita semua yang berkulit warna-warni sedia selalu duduk dan bercengkerama bersama dalam Taman Surga Indonesia.
Perayaan Imlek tahun ini harus menjadi saat bagi “yang di sana dan yang di sini” menautkan cintanya kepada NKRI. Bukan ambisi mengeruk kekayaan negeri atau memboyong triliunan rupiah ke luar negeri tanpa mampu dideteksi.
Kita rekatkan persaudaraan. Bukan meretakkan persatuan. Teruslah untuk saling bergumul dalam pergaulan besar kebangsaan tanpa mencederai dan tiada henti mengembangkan rasa tahu diri. Iso ngrumangsani hidup di tanah Ibu Pertiwi.
Kalau sudah menyadari dan meresapi bahwa republik ini memberi ruang penghormatan tinggi: kita bersaksi biarlah lampion-lampion merah menyala tanpa perlu ditafisir bahwa itu sewarna dengan partai paslon capres-cawapres tertentu.
Warna merah berselisik kuning itu biarlah menghiasi jalan sejarah negara untuk sebarisan formasi berbangsa agar kita bisa saling berucap mesra: gong xi fa cai. Juga cái yuán g n g n, semoga kemakmuran terlimpahkan selalu. (*)
Oleh Suparto Wijoyo: Guru Besar Fakultas Hukum, dan pengajar Strategic Leadership Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga