Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali dengan membuat serangan balik yang sporadis dan terkesan putus asa. Para guru besar yang menjadi motor gerakan keprihatinan diserang dengan tuduhan partisan. Demontrasi tandingan dilakukan di beberapa kampus. Beberapa rektor membuat pernyataan mendukung Jokowi dengan memuja-muji kepemimpinannya.
Salah satu yang menjadi ikon utama keberhasilan Jokowi yang ditonjolkan adalah penanganan Covid-19. Tentu hal itu menimbulkan pertanyaan. Pagebluk Covid-19 adalah pagebluk global yang menimpa semua negara di dunia. Pandemi itu akhirnya berhenti di seluruh dunia hampir dalam waktu bersamaan.
Tidak ada yang pantas dibanggakan dalam penanganan Covid-19 di Indonesia. Justru sangat banyak borok yang muncul dalam penanganan pandemi. Sebab, dana triliunan rupiah yang digelontorkan memunculkan banyak korupsi dan memperkaya segelintir kroni.
Serangan terhadap Jokowi main masif dengan munculnya pernyataan keras dari Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo.
Kardinal mengingatkan bahwa mengabaikan seruan dari kalangan kampus bisa membawa bahaya kepada kekuasaan. Diingatkan tentang jatuhnya banyak kekuasaan karena penguasa abai terhadap peringatan para intelektual.
Peringatan uskup agung itu sangat signifikan lantaran selama ini umat Katolik dianggap sebagai pendukung setia Jokowi. Ketika terjadi revolusi Filipina 1984, diktator Ferdinand Marcos akhirnya jatuh oleh perlawanan rakyat yang dipimpin Uskup Agung Kardinal Sin.
Skala peringatan Kardinal Suharyo tidak sama dengan gerakan Kardinal Sin. Namun, Jokowi harus mendengarkannya secara serius kalau tidak mau merasakan akibatnya. (*)