Cucu Jantiko

Selasa 13-02-2024,01:45 WIB
Reporter : Arif Afandi
Editor : Yusuf Ridho

BARU KALI INI saya merasa tua usia. Ketika mengikuti rangkaian haul muasis (peringatan kematian untuk para pendiri) Lembaga Pendidikan Miftahul Huda, Gogodeso, Blitar. Yang digelar di kompleks madarasah di desa tempat saya lahir dan besar.

Kebetulan, di antara para pendiri itu adalah bapak dan ibu saya. Bahkan, lahan tempat para warga di sekitar menyekolahkan anaknya sejak 1961 itu adalah wakaf keluarga. Yang sekarang berkembang luasnya sampai tiga kali lipat.

Apa hubungannya dengan perasaan tua? Haul hari Minggu kemarin diadakan dengan rangkaian Semaan Al-Qur’an Rutin Jamaah Jantiko Mantab. Jamaah yang didirikan KH Hamim Tohari Djazuli yang kesohor dengan panggilan Gus Miek. Kiai dari Ponpes Al Falah, Ploso, Mojo, Kediri.

BACA JUGA: Silaturahim Keluarga Besar Ponpes Ploso dan Ponpes Lirboyo, Anies Ikhtiar Pertolongan Agung

Kiai yang semasa hidupnya dianggap unik –keramat dalam bahasa pesantrennya– itu mendirikan Jamaah Jantiko Mantab tahun 1986. Pusatnya di Ploso, Kediri. Namun, kegiatannya merambah ke berbagai kota. Termasuk di Yogyakarta. Di kota itu, dulu jamaah tersebut dipelopori GPBH Joyokusomo. Adik Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Saya hanya sekali bertemu dengan Gus Miek. Pertemuan singkat di Hotel Elmi. Itu hotel yang terkenal menjadi tempat Gus Miek menerima curhatan para santrinya. Santri yang berasal dari berbagai kalangan. Mulai tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, pengusaha, sampai mereka yang masuk kategori preman.

Karena baru sekali berjumpa Gus Miek, saya belum sempat kecipratan berkah keramatnya. Namun, dari pertemuan itu kemudian saya menjadi ”santri” Ploso. Banyak santri yang mengelilingi Gus Miek di Hotel Elmi kemudian menjadi orang sukses. Bahkan, Gus Dur – Presiden Keempat RI KH Abdurrahman Wahid– termasuk yang mengakui keramatnya Gus Miek. 

BACA JUGA: Pengasuh Ponpes DNE Al Falah Ploso Kediri Gus Bintang Dukung AMIN Kawal Perubahan

Kebesaran Gus Miek sempat melegenda. Pernah menjadi laporan khusus di majalah Tempo. Gus Dur juga pernah menuliskannya dengan apik di majalah tersebut. Tulisan yang jernih tentang kiprah seorang kiai besar dengan jamaah yang tersebar dari berbagai kalangan. Dengan berbagai ”cerita unik dan nyeleneh” Gus Miek selama hidupnya.

Majelis rutin Jantiko Mantab berlangsung sehari penuh. Mulai setelah salat Subuh. Dari pagi sampai sore diisi khataman Al-Qur’an oleh para hafiz (penghafal). Pembacaan kitab suci oleh para hafiz tersebut disemak atau didengarkan para jamaah. Kegiatan itu berlangsung sampai jelang Magrib. Hanya disela jeda saat salat fardu dan makan siang.

Begitu Magrib, dilakukan salat berjamaah. Diteruskan dengan pembacaan Dzikrul Ghofilin yang dipimpin Gus Ferry Husnul Maab, cucu pertama Gus Miek. Setelah Gus Miek wafat tahun 1993, jamaah Jantiko Mantab Indonesia dipimpin putra keduanya, Gus Sabuth Panoto Projo. Gus Ferry adalah putra pertama Gus Sabuth.

BACA JUGA: Didukung Alumni Ponpes Al Falah, Gibran Janji Eksekusi Program Dana Abadi Pesantren

Pembacaan Dzikrul Ghofilin berlangsung sampai waktu salat Isya tiba. ”Saya lahir setahun setelah Jantiko Mantab berdiri,” kata Gus Ferry. Jadi, kini usianya baru 37 tahun. Wajahnya ganteng. Mewarisi kegantengan kakek dan ayahnya. 

Jika ia bersanding dengan Gus Sabuth, tidak tampak seperti bapak dan anak. Lebih tampak seperti kakak-beradik.

Dalam setiap kegiatan Semaan dan Dzikrul Ghofilin, Gus Ferry tiba sebelum Magrib. Sedangkan Gus Sabuth menjelang Isya. Setelah selesai jamaah Isya, Gus Sabuth dan Gus Ferry baru naik panggung untuk meneruskan bacaan Dzikrul Ghofilin dan doa khatmil Qur’an. 

Kategori :