Regulasi tak Ramah UMKM, Bisnis Sarang Walet Terancam Gulung Tikar

Rabu 21-02-2024,03:03 WIB
Reporter : Noor Arief Prasetyo
Editor : Noor Arief Prasetyo

HARIAN DISWAY - Sarang walet dikenal sebagai nutrisi penuh manfaat. Dulu harganya mahal hingga bisnis ini sangat menggiurkan. Nyatanya, kondisi sekarang berbalik 180 derajat. Kini pebisnis sarang walet mulai kesulitan menjual produknya. 

Padahal, omzet produk ini sangat tinggi. Asosiasi Peternak dan Pedagang Sarang Walet Indonesia (APPSWI) menyebutkan, Indoonesia mampu memproduksi 1.500 ton sarang walet per tahun. “Tapi hanya 300 ton saja yang bisa diekspor. Sisanya terpaksa dijual ke pasar gelap dengan harga murah. Jelas ini merugikan peternak,” kata Ketua APPSWI, Wahyudi Husein, Selasa, 20 Februari 2024 malam.

Dijelaskan Wahyudin, produk walet merupakan hasil Sumber Daya Alam (SDA) yang berpeluang besar meningkatkan ekonomi di Indonesia. Dari total produksi tersebut Indonesia mampu memenuhi 80 persen kebutuhan walet dunia. “Potensi besar untuk mendongkrak perekonomian Indonesia karena bisnis ini menyrap banyak tenaga kerja,” tandasnya.

Tapi, menurut Wahyudin, kendala mulai muncul sejak 2012. Saat itu ada MoU Import Protocol yang membuat para pelaku UMKM walet di Indonesia tercekik. “MoU tersebut diberlakukan sejak 2014 dan mulai kami rasakan imbasnya dua tahun kemudian. Kami para UMKM sarang walet sangat kesulitan menjual produk walet kami. Utamanya untuk ekspor,” kata Wahyudin.

BACA JUGA:Berdayakan Warga Desa, APPSWI Serap Tenaga Kerja

BACA JUGA:Perpres Baru Tentang Badan Karantina Jadi Angin Segar Bagi UMKM Sarang Walet

Kesulitan tersebut semakin dirasakan setelah ada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2012 Tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Sarang Burung Walet ke Republik Rakyat China. Wahyudin mengatakan, standarisasi untuk ekspor sarang walet tidak mampu dipenuhi anggotanya. Apalagi, dalam peraturan itu, sarang walet masuk dalam klasifikasi tingkat resiko menengah tinggi.

“Salah satu contoh kesulitan yang kami alami adalah perizinan. Bila dihitung mulai dari daerah sampai di Tiongkok, mungkin kalau ditotal ada 1.000 lembar. Pengurusan juga butuh waktu lama. Mengurus di tingkat kabupaten/kota saja bisa 3-6 bulan. Tentu ini memakan biaya dan menyulitkan UMKM,” imbuh Wahyudin.

Selain kesulitan mengurus izin, para UMKM juga merasa tidak mampu membuat tempat produksi sarang walet yang sesuai dengan regulasi. Sehingga saat ini hanya ada 33 perusahaan yang bisa ekspor ke Tiongkok. Hal itu membuat UMKM sarang walet kian terpuruk dan kini nasibnya di ujung tanduk karena Tiongkok adalah negara terbesar yang mengimpor sarang walet.

“Nah, organisasi kami yang beranggotakan para UMKM ini merasa perlu ada evaluasi dan revisi aturan ekspor sarang burung walet agar tidak menyengsarakan peternak,” tutur Wahyudin.

BACA JUGA:Asosiasi Peternak Pedagang Sarang Walet Indonesia Gandeng Wawali Surabaya, Santuni 250 Anak Yatim

BACA JUGA:Pertahankan Usahanya, Pengusaha UMKM Pengolahan Sarang Walet Ajukan PK Kedua

Wahyudin menceritakan, 75 persen UMKM sarang walet saat ini tengah merugi karena regulasi ekspor yang tidak kunjung berubah. Artinya, ada 113.000 peternak sarang walet yang mempekerjakan 300.000 karyawan di seluruh Indonesia yang terancam bangkrut. 

“Sarang walet itu tidak bisa dibersihkan dengan mesin. Harus secara manual. Sedangkan, 1 orang itu hanya bisa membersihkan 10 sarang walet per hari. Bisa dibayangkan besarnya serapan tenaga kerja dari Industri ini,” kata Wahyudin.

Ke depan, Wahyudin berharap agar pemerintah lebih memperhatikan nasib para UMKM sarang walet daripada perusahaan-perusahaan besar yang hanya dimiliki beberapa keluarga. Ketika para UMKM bisa lebih mudah melakukan ekspor langsung, Wahyudin meyakini tenaga kerja akan banyak terserap sehingga bisa menekan angka pengangguran. Selain itu, devisa negara juga akan bertambah apalagi sarang walet merupakan produk khas Indonesia. (*)

Kategori :