HARIAN DISWAY - Bagi masyarakat Madura, penghinaan atau pelecehan terhadap harga diri akan dibayar mahal. Salah satunya dengan carok. Tradisi itu identik dengan celurit. Serta di lingkungan Madura, dulu banyak terdapat laki-laki nyekep. Mereka menyembunyikan senjata di balik bajunya. Ada teknik-teknik khusus untuk itu.
Hingga saat ini, meski telah begitu berkurang, tradisi nyekep masih dilakukan oleh para laki-laki Madura. Mereka kerap menyembunyikan celurit atau senjata tajam di balik bajunya. Bukan untuk disalahgunakan. Melainkan sebagai bentuk jaga diri. Bertahan bila sewaktu-waktu mendapat serangan dari begal atau pencuri.
BACA JUGA: Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (10): Pesa', Gombor
Membawa senjata tajam bagi laki-laki Madura layaknya pistol yang dibawa polisi atau petugas keamanan. Jika sampai digunakan untuk hal-hal negatif, maka ia akan mendapat kecaman dari masyarakat. Pun, fungsi senjata itu untuk melindungi istri. Laki-laki Madura dalam tradisinya selalu berjalan di belakang istrinya.
Posisi nyekep sembari duduk. Bagian cekung celurit hingga ujung tajamnya melingkar dari pinggang ke paha. -Julian Romadhon-HARIAN DISWAY
"Untuk menyembunyikan celurit yang berujung tajam, lengkungnya juga tajam, perlu teknik khusus. Tidak bisa sembarangan. Kalau salah menempatkan, bisa-bisa melukai tubuh," ujar Hidrochin Sabarudin (Abah Doink), budayawan Madura, yang ditemui Harian Disway di Rumah Batik Peri Kecil, Burneh, Bangkalan, Madura.
Sebagian besar orang Madura pun pasti menyimpan celurit di rumah mereka. Ada celurit sebagai pusaka, celurit untuk jaga diri atau celurit biasa yang digunakan untuk memotong rumput. "Saya menyimpan celurit di rumah. Tapi untuk mempraktikkan teknik nyelep, kita pinjam celuritnya tuan rumah saja," ujarnya.
Lestari Puji Rahayu (Yayuk) dan Mulat Nur Setyanto, pasangan suami-istri owner Rumah Batik Peri Kecil rupanya tak menyimpan celurit untuk bela diri, atau celurit pusaka. Mereka hanya memiliki celurit untuk memotong rumput. "Kalau celurit serupa seperti yang digunakan tersangka saat peristiwa perkelahian 12 Januari 2024, kami tidak punya. Adanya celurit biasa," ujar Yayuk.
"Tidak apa-apa. Toh bentuknya sama saja. Hanya kegunaannya saja yang berbeda," ujar Abah Doink, sembari menerima sebilah celurit yang bagian besinya telah cukup berkarat. Ia lalu memperagakan penempatan celurit yang diletakkan di samping pinggang.
"Saat kita duduk, lengkung celurit itu sama dengan proporsi pantat dan paha. Gagangnya mengarah ke atas. Sehingga aman," ujarnya, sembari memperlihatkan bentuk lengkungan celurit yang posisinya sama dengan posisi duduknya.
Ada pula teknik nyekep dengan menyimpan celurit di selangkangan. Abah Doink pun mempraktikkannya. Tentu bagi yang awam, muncul perasaan khawatir. Sebab, bagian celurit yang tajam itu disembunyikan di sela selangkangan, sambil duduk pula. Sehingga Abah Doink tampak seperti duduk di atas celurit.
"Wah, Abah ini sakti. Bisa duduk di atas celurit. Pernah belajar debus mungkin, ya?," sahut Julian Romadhon, fotografer Harian Disway. Abah Doink pun tertawa. "Bukan, bukan sakti. Asal tahu tekniknya, aman. Tidak akan terluka. Jadi bagian tajamnya ini bisa tepat diapit oleh selangkangan kiri atau kanan," ujar pria 63 tahun itu.
"Kalau disembunyikan di bagian seperti ini, maka gagangnya berada di depan. Biasanya untuk menutupi gagang celurit yang menyembul, pemakainya sering menunduk," terangnya, kemudian mempraktikkan gaya menunduk. Dagu Abah Doink menyentuh gagang celurit. Sehingga posisi menyembulnya tak terlalu kentara.
Di kalangan orang Madura, nyekep adalah hal biasa. Laki-laki dengan senjata di balik bajunya kerap ditemui di tempat keramaian dan di mana pun. Seperti di pasar, bahkan di angkutan umum. Mereka yang nyekep, berkomunikasi dan berbincang seperti biasa dengan orang lain. Pun, lawan bicaranya tak merasa takut, meski ada bagian yang menyembul di punggung orang itu.
Bahkan dulu di pedesaan-pedesaan Madura, anak kecil telah dipersenjatai. Mereka nyekep untuk jaga diri. Hal itu diungkapkan oleh dua pemuda Madura, yang ditemui di Kedai Pustaka, Bangkalan. Yakni Andu Rahman dan Rony Darmawanto.
BACA JUGA: Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (9): Taneyan Lanjhang