BACA JUGA: Drakor Jokowi
Soeharto mendapat gelar ”Bapak Pembangunan”, sebuah gelar yang bersifat ”self-proclaimed” yang dibuat untuk diri sendiri.
Pembangunan membutuhkan stabilitas sosial dan politik. Sumber distabilitas politik adalah partai-partai politik. Soeharto kemudian melakukan rekayasa yang canggih untuk menjinakkan partai-partai politik.
Dari puluhan parpol, Soeharto berhasil mereduksinya menjadi dua partai merger yang dipaksakan berdasar ideologi nasionalisme dan agama.
Atas nama pembangunan, Soeharto mengerahkan kekuatan ABRI untuk mengintimidasi dan merampas tanah rakyat. Pertumbuhan ekonomi yang stabil selama puluhan tahun menjadi legitimasi utama Soeharto.
BACA JUGA: Populisme ala Jokowi
Ia menjaga supaya pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 7 persen setiap tahun. Dengan stabilitas pertumbuhan itu, Indonesia masuk kategori ”Macan Asia” bersama Thailand, Singapura, dan Taiwan.
Bangunan yang diarsiteki Soeharto terlihat megah dan mewah, tapi ternyata fundamentalnya rapuh. Fondasi pembangunan ekonomi keropos karena banyak nepotisme, kolusi, dan korupsi. Bangunan sosial yang kelihatan indah dan menawan ternyata menyimpan borok yang mengerikan. Sebab, dibangun tanpa demokrasi dan hanya mengandalkan kekuatan represif yang mengintimidasi.
Soeharto mendasarkan legitimasinya dengan menciptakan musuh bersama. Maka, diciptakanlah musuh-musuh itu dalam bentuk kelompok-kelompok yang disebut sebagai ekstrem.
BACA JUGA: Sapu Jagat ala Jokowi
Kelompok ekstrem kiri atau ”eki” adalah komunisme dan kelompok ekstrem kanan atau ”eka” adalah kelompok radikal Islam. Dua musuh itu selalu diembus-embuskan sebagai ancaman untuk memperkuat legitimasi rezim Orde Baru.
Soeharto sadar bahwa opini publik akan memengaruhi stabilitas. Maka, saluran utama opini publik dikontrol dengan ketat. Pers sebagai sarana pembentukan dan penyaluran opini publik dikendalikan dengan ketat.
Pers yang seharusnya berfungsi sebagai watch dog alias anjing penjaga berubah menjadi laps dog alias anjing pangkuan.
BACA JUGA: Jokowi Way
Pembangunan tanpa demokrasi ala Soeharto terbukti rapuh. Selama ini selalu ada yang mempertentangkan antara demokrasi dan pembangunan. Demokrasi, katanya, tidak bisa membuat kenyang. Rakyat butuh nasi, bukan demokrasi.
Filsuf Inggris kelahiran India, Amartya Sen, mengingatkan bahaya pandangan itu. Sen, dalam Development as Freedom, menulis bahwa demokrasi dan pembangunan harus berjalan seiring sejalan. Memprioritaskan satu di antaranya akan menyebabkan petaka.