HARIAN DISWAY - Fenomena suhu lautan pasifik El Nino telah memicu berbagai kejadian ekstrem di tanah air pada paruh akhir tahun 2023 hingga awal tahun 2024.
Berbagai kejadian ekstrem tersebut mulai dari kekeringan, kebakaran hutan, gunung, dan lahan pertanian, kebakaran tempat pembuangan sampah akhir, wabah penyakit, suhu panas yang menyengat, hingga gagal panen yang meluas.
Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan menyebut bahwa harga beras yang mahal akibat kelangkaan di pasaran adalah dampak langsung dari El Nino yang merajalela sepanjang akhir tahun 2023.
Namun, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memprediksikan bahwa kejayaan El Nino kan berkarakteristik panas akan berakhir pada bulan April 2024 dan akan segera digantikan oleh 'saudari-nya' yang berkarakteristik dingin yakni La Nina.
Pernyataan tersebut disampaikan Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG, Supari pada diskusi media yang bertemakan “Bahan Pokok Mahal: Pentingnya Keberlanjutan Pangan di Tengah Krisis Iklim” pada Selasa, 3 Maret 2024.
BACA JUGA:Beda El-Nino Dengan La-Nina Serta Prediksinya Pada Tahun 2023 Untuk Wilayah Indonesia
Berdasarkan pernyataan Supari, BMKG telah menemukan banyak tanda kemungkinan La Nina yang terlihat dari beberapa bulan yang lalu.
Supari pada Diskusi Media yang Bertemakan “Bahan Pokok Mahal: Pentingnya Keberlanjutan Pangan di Tengah Krisis Iklim” pada Selasa, 3 Maret 2024--
BACA JUGA:Sejarah Penamaan EL Nino dan La Nina, Berkaitan Dengan Yesus Kristus
“Berbagai model laut sedang mengindikasikan bahwa terjadi pendinginan, akan terjadi pendinginan, diprediksi terjadi pendinginan, di Samudra Pasifik itu mengindikasikan terjadinya fenomena La Nina,” terang Supari dalam paparannya.
Ia memaparkan, hingga saat ini, BMKG masih belum bisa mengukur kekuatan La Nina yang kemungkinan terjadi pada paruh akhir tahun 2024. Namun, dalam siklus iklim sendiri, La Nina tidak akan terlalu berdampak pada musim kemarau.
“Musim kemarau kalau disertai La Nina kemungkinan curah hujannya tetap tinggi. Memang tidak setinggi di musim hujan, tapi cukup banyak dari curah hujan normal di musim kemarau,” jelas Supari.
BACA JUGA:Sampai Kapan El Nino Berlangsung? Ini Penjelasan BMKG Beserta Dampaknya pada Ketahanan Pangan
Tidak hanya itu, berdasarkan analisis BMKG, terjadinya La Nina setelah El Nino dinilai normal. Terlebih pada 10 tahun terakhir Indonesia mengalami krisis iklim yang cukup ekstrim dengan La Nina dan El Nino yang datang bergantian.
Pada tahun 2015, Indonesia mengalami El Nino kuat yang menyebabkan kekeringan parah. Disusul tahun 2016 berbalik menjadi La Nina. Tahun 2017 fenomena ENSO berada pada kategori netral, kemudian disusul El Nino lemah pada tahun 2018 akhir. Tahun 2019 kata Supari Indonesia kembali mengalami kekeringan.