"2019 itu misalnya kondisi tanpa hujan terjadi sampai 259 hari atau berkisar hampir 8 bulan lebih, 8 bulan lebih di NTT. Jadi sangat kering. Waktu itu berbarengan dengan indian ocean dipole (IOD). Kemudian pada tahun 2020-2022 kita ada La Nina 3 tahun berturut-turut, lalu 2023 kita ada El Nino level moderate/ sedang, dan kemudian 2024 kita ada potensi La Nina lagi,” rinci Supari.
Ilustrasi/ Angin Kencang--Pixabay
Menurutnya, saat ini Indonesia lebih sering menghadapi iklim yang ekstrim dibandingkan dengan iklim normal. Oleh karena itu, baik pemerintah maupun masyarakat diharapkan untuk selalu bersiap menghadapi krisis iklim tersebut. Terlebih, potensi iklim yang ekstrim dapat terindikasi dari 6 bulan sebelumnya.
“Sehingga kita mau tidak mau harus memahami bahwa kondisi iklim apapun yang terjadi, El Nino atau La Nina, itu akan ada bagian dari sektor pangan yang terdampak,” pungkas Supari.(*)