Juli mencatat, dalam pelaksanaan penerimaan siswa ABK di sekolah negeri juga harus melibatkan pihak profesional. Dalam hal ini ialah psikolog maupun psikiater yang praktik aktif. Sehingga sekolah juga tak asal menerima siswa inklusi demi kelancaran pembelajaran bagi seluruh siswa lain.
BACA JUGA:Indonesia 2024–2029: Selamat Datang, Neoliberalisme Inklusif!
"Para profesional yang menilai, anak ini bisa gak mengikuti pembelajaran di jenjangnya, bersama dengan anak lain," ujarnya.
Di sisi lain, bagi orang tua siswa non-ABK juga harus diberi sosialisasi. Agar bisa menerima kondisi pembelajaran anaknya bersama ABK. Justru kehadiran ABK di kelas diharapkan dapat menumbuhkan empati siswa lainnya.
Memang tidak dipungkiri banyak orang tua yang keberatan jika anak mereka satu kelas dengan siswa ABK. Alasannya bermacam-macam. Juli menilai hal ini terjadi karena ketidaktahuan para orangtua sehingga harus diberi sosialisasi. (*)