Indonesia 2024–2029: Selamat Datang, Neoliberalisme Inklusif!

Indonesia 2024–2029: Selamat Datang, Neoliberalisme Inklusif!

Ilustrasi neoliberalisme inklusif di Cile.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

TULISAN ini dibuat untuk dapat mengenali dengan lebih dekat apa yang telah berlangsung di Cile, sebuah negara yang sedang berkembang pesat di Amerika Latin

Kini, ketika menjelang proses pergantian kepemimpinan nasional, Indonesia sepertinya perlu belajar dari pengalaman pembangunan negara tersebut sejak menjelang akhir 1973 sampai 2021 mengikuti dan mengimplementasikan model ekonomi neoliberalisme. 

Dalam varian aslinya maupun setelah mengalami berbagai penyesuaian. 

BACA JUGA: Kapitalisme Neoliberal Gagal Menyejahterakan Rakyat, Ini Penjelasan Prabowo

Pada masa awal, ketika Jenderal Augusto Pinochet berkuasa dengan model politik diktatorian, ekonomi neoliberalisme asli sepenuhnya diadopsi. 

Uniknya, ketika terjadi pergantian rezim menjadi negara demokratis sejak 1990, model ekonomi neoliberalisme tidak dicampakkan. Tetap bertahan dan digunakan sampai tahun 2021 sebagai model pokoknya dengan berbagai penyesuaian. 

Diberi nama baru, yakni neoliberalisme pragmatis. Bahkan, ada yang menyebutnya sebagai neoliberalisme inklusif.

Jika menggunakan referensi waktu ketika itu, dapat dipastikan pilihan tidak meninggalkan model neoliberalisme amat mengejutkan, bahkan boleh dikata tidak terduga. 

BACA JUGA: Liberalisasi Dokter

Pergantian rezim politik normalnya membawa akibat pada pergantian model pembangunan ekonomi. Namun, jika dievaluasi dengan referensi waktu kekinian, pilihan tersebut sepertinya memang benar-benar pilihan strategis yang tepat. 

Belakangan ini telah disadari bahwa hampir mustahil untuk memilih model pembangunan yang berada pada titik ekstrem: paling kanan atau paling kiri. Semuanya mengarah pada jalur moderat, berada di tengah-tengah. Neoliberalisme inklusif merupakan salah satu model yang berada di jalur moderat tersebut.

Sekarang ini telah terbit berbagai tulisan yang secara sungguh-sungguh dan kritis membahas tentang implikasi negatif struktural dari praktik pembangunan bermazhab neoliberalisme. 

Sepertinya risiko yang ditimbulkan dinilai telah terlalu dalam, sudah sampai pada tingkat ancaman eksistensial –kemungkinan kematian setidaknya keruntuhan neoliberalisme– jika tidak dilakukan perubahan yang relatif mendasar. Telah sampai pada tahap krisis dan kritis. 

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kemudian di dalam berbagai tulisan tersebut dilanjutkan bahasannya sampai pada usulan strategis untuk melakukan reformasi neoliberalisme. Jangan sampai neoliberalisme ditinggalkan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: