Dengan demikian, ia hanya memberikan arahan-arahan secara garis besar. Timnya (sesuai fungsi masing-masing) dapat menerjemahkan dan mengambil keputusan secara otonom. Namun, sering kali dalam praktik terkesan antarfungsi berjalan sendiri-sendiri dan kurang terkoordinasi akhirnya menimbulkan kebingungan publik ketika terdapat keputusan-keputusan yang kontradiktif atau tumpang tindih.
Kembali pada identifikasi kebutuhan perbaikan dan penguatan yang dirumuskan Kementerian Perekonomian bahwa untuk mencapai cita-cita Indonesia emas dibutuhkan perbaikan dan penguatan banyak hal.
Di antaranya, perbaikan tata kelola, peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi, perbaikan penataan ruang wilayah, peningkatan kualitas sumber daya manusia, efisiensi birokrasi, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, konektivitas antardaerah dan kesiapan infrastruktur, dan sudah barang tentu dibutuhkan kepemimpinan yang tepat.
Maka, rakyat Indonesia dengan kesempatan tiga kali lagi pemilihan kepemimpinan nasional ke depan (setelah 2029) diharapkan dapat memilih yang lebih baik, yang lebih bijak dan lebih cerdas.
Setiap orang pemimpin memang tidak selalu hanya memiliki satu di antara lima tipe yang dicontohkan di atas. Ada yang memiliki dua tipe yang menonjol, ada yang memiliki tiga tipe, atau bahkan lebih.
Secara normatif, pemimpin yang memiliki lebih banyak tipe dari kelima tipe di atas, secara teori, merupakan pemimpin yang lebih baik. Namun, jangan pernah lupa bahwa etika kepemimpinan tetap harus menjadi legitimasi yang paling utama.
Semoga harapan mencapai Indonesia emas yang bermartabat dan beretika tinggi menjadi kenyataan. (*)
*) Didik Sasono Setyadi adalah pengajar etika dan akuntabilitas publik pada ”Petroleum University” UP 45 Yogyakarta dan dosen tamu pada Universite Le Havre Normandie, Prancis