Karena kebijakan itu, lantas sampah-sampah tersebut membanjiri Asia Tenggara yang datang dengan bentuk impor plastik bekas, pakaian bekas, dan elektronik bekas.
SULITNYA MENJERAT PELAKU
Kejahatan sampah itu sulit ditangani karena melibatkan banyak jaringan kejahatan transnasional. Sulit juga karena banyak negara yang memperlakukannya sebagai kejahatan administratif dengan sanksi yang ringan.
Solusinya kerap dengan mengirimkan kembali sampah ekspor itu ke negara asal seperti yang dilakukan Malaysia pada 2019 dengan mengirim kembali sampah-sampah tersebut kepada tiga belas negara pengekspor.
Filipina melakukan hal yang sama pada 2019, mengirim sampah ke negara asal, Kanada. Pada tahun yang sama, Indonesia mengirimkan kembali sampah plastik yang tercemar B3 ke Prancis, Hongkong, Amerika Serikat, dan Australia.
Di level internasional, sudah ada 50 negara yang menandatangani Konvensi Basel. Itu adalah konvensi yang mengatur perdagangan bahan-bahan berbahaya, termasuk sampah plastik dan elektronik.
Konvensi tersebut muncul sebagai bentuk keprihatinan maraknya perdagangan sampah dari negara-negara maju yang diekspor ke negara-negara di Eropa Timur dan berkembang lainnya di tahun 1980-an.
Hampir setengah abad isu itu muncul, perdagangan sampah juga masih kerap terjadi. Permasalahannya tetap sama. Minimnya penguasaan teknologi dan pembiayaan, fasilitas daur ulang yang terbatas, dan badan pengawas dari pemerintah yang masih lemah adalah tiga masalah utama yang muncul di banyak negara.
Bahkan, untuk Uni Eropa yang selama ini aktif menyuarakan konvensi itu, faktanya justru negara-negara Eropa adalah pengekspor sampah terbesar di dunia.
Di negara-negara pengekspor seperti di Eropa, biaya untuk melakukan daur ulang mahal. Mengirimkannya ke negara-negara dengan aturan hukum lingkungan yang lemah dianggap lebih murah dan praktis.
INDONESIA BISA APA?
Sudah saatnya Indonesia perlu menguatkan aturan soal impor sampah. Bisa dengan pembatasan kuota impor sampah plastik seperti yang dilakukan Vietnam dan Thailand yang melarang impor sampah elektronik.
Lebih jauh, Indonesia perlu melarang secara tegas seperti yang telah dilakukan Tiongkok pada 2018 untuk impor sampah plastik dan B3. Penguatan aturan itu perlu dilakukan. Sebab, kapasitas pengolahan sampah di dalam negeri masih sangat terbatas.
Kapasitasnya belum dapat mengolah sampah yang dihasilkan sendiri, apalagi ketambahan impor sampah dari luar. Berdasar data dari pengelolaan sampah nasional, rata-rata kabupaten/kota di Indonesia hanya mampu mengelola di bawah 50 persen.