Menyikapi itu, Panitera MA Soeroso Ono meminta para pimpinan pengadilan untuk memperhatikan ketentuan publikasi putusan yang terdapat dalam pedoman pelayanan informasi di pengadilan (SK 1-144/KMA/SK/I/2011).
Soeroso menjelaskan, untuk perkara yang persidangannya dilakukan secara tertutup, pengadilan harus melakukan penyamaran identitas pihak yang terkait dalam perkara sebelum putusan dipublikasikan di direktori putusan.
Soerosa: ”Identitas penggugat, terggugat, dan anak dalam perkara perceraian, demikian juga saksi korban dalam perkara anak harus dilakukan anonimisasi sebelum di-upload ke direktori putusan.”
Bagi putusan yang belum dilakukan anonimisasi tetapi sudah terlanjut dipublis, panitera meminta agar segera dilakukan anonimisasi. Selama belum dilakukan anonimisasi, putusan tersebut agar di-unpublish sementara waktu.
Dalam melakukan anonimisasi, panitera MA masih melihat adanya ketidakseragaman. Ada yang melakukan anonimisasi dengan mengosongkan, menghitamkan, mengganti dengan inisial, atau mengganti dengan tanda X berderet.
Soeroso: ”SK KMA telah mengatur cara anonimisasi dokumen putusan, itu harus menjadi rujukan, jangan bikin cara baru sehingga tidak seragam.”
Publikasi putusan sidang cerai itu memang bisa berdampak negatif, bisa juga positif buat masyarakat. Negatif, karena para pihak yang bersengketa bisa malu. Positif, karena bisa menjadi pelajaran buat masyarakat.
Tujuannya, suami istri selalu menjaga hubungan mereka agar jangan sampai terjadi hal-hal yang mirip dengan isi gugatan cerai. Dengan menjaga hubungan suami istri yang menghindari perilaku negatif, baik pada nuclear family (keluarga inti) maupun extended family (keluarga besar), pernikahan siapa pun bakal langgeng. (*)