BACA JUGA: Sarasehan Nasional untuk Picu Ekonomi Digital Masyarakat Desa
KETIMPANGAN
Pergeseran arah tampaknya sedang terjadi di masyarakat. Kini nasabah dengan tabungan di bawah Rp 100 juta cenderung diklasifikasikan dengan masyarakat berdaya beli rendah.
Kelompok tipikal itu adalah pekerja pada sektor yang terdampak kondisi global. Industri padat karya yang tergolong home industry, seperti perusahaan tekstil dan alas kaki, di beberapa provinsi telah merumahkan sebagian besar pekerjanya.
Bahkan, melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja). Penyaluran bansos (bantuan sosial) reguler plus BLT (bantuan langsung tunai) mampu menjaga keyakinan (confidence level). Kedua jenis bantuan tersebut secara signifikan mendongkrak tingkat konsumsi masyarakat.
BACA JUGA: Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat di Wilayah Transmigrasi
Namun, pertumbuhan simpanan yang stagnan itu menandakan mereka masih mengandalkan tabungan untuk menopang kegiatan konsumsi sehari-hari alias ”makan tabungan”.
Berdasar data distribusi LPS per April 2024, tiering simpanan di atas Rp 5 miliar menjadi simpanan dengan nominal terbesar, yakni mencapai Rp 4.691 triliun atau setara dengan 53,9% dari total simpanan senilai Rp 8.703 triliun.
Terdapat faktor mengapa kaum tajir dengan simpanan kaliber jumbo tumbuh pesat. Di antaranya, kelompok itu memiliki kapita dan menangguk return dari capital market, dari equity, dan lainnya rata-rata di atas tingkat inflasi, termasuk juga dari bond.
BACA JUGA: Jurus Erick Thohir: Siapkan BUMN Hadapi Dampak Ekonomi dan Geopolitik Global
Kemudian, imbal hasilnya ditransfer ke dalam pundi-pundi tabungan yang makin tebal. Pada sektor market itulah yang tidak bisa diakses mereka yang memiliki deposit di bawah Rp 100 juta.
Dugaan adanya ketimpangan ekonomi tampaknya tidak berlebihan. Pertumbuhan ekonomi 2023 (5,05%) yang lebih rendah dari tahun sebelumnya lebih disebabkan perlambatan konsumsi rumah tangga. Sementara itu, kenaikan simpanan tidak seluruhnya menjadi investasi riil dengan semua efek positifnya.
Komparasi dengan data makroekonomi lain agaknya memperkuat dugaan di atas. Rasio Gini pada Maret 2023 berada di level 0,388. Angka itu merangkak naik dari 0,381 pada September 2022 serta lebih tinggi daripada 0,384 pada semester pertama 2023.
Alhasil, laporan LPS soal posisi simpanan masyarakat memberikan sinyal bahwa perekonomian perlu lebih didongkrak lagi. Pendekatan itu tampaknya lebih realistis ketimbang mendorong kelompok masyarakat golongan mampu untuk menggenjot konsumsi.
Lagi pula, bansos dan BLT tidak bisa selamanya diberikan untuk menopang konsumsi kelompok bawah karena dinilai makin membebani APBN dalam jangka panjang.
Menilik postur ekonomi Indonesia yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2024 sebesar 5,11% (yoy) tecermin dari adanya peningkatan jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 5,04% (yoy).