Ditanya apa yang menjadi pegangan hidupnya, Tommy Soeharto bilang "hidup sehat, itu pun kadang masih kena penyakit", seraya tertawa dengan tawa khasnya. Serupa, pepatah klasik Tiongkok juga mengingatkan kita untuk "善自珍重" (shàn zì zhēn zhòng): pandai-pandai menjaga kesehatan diri.
Memang, sebagaimana wejangan orang bijak yang kemungkinan sering Anda dengar pula, "Antara kesehatan dan kekayaan atau ketenaran atau jabatan, bagaikan angka 1 di depan sekian banyak angka 0 di belakangnya. Misalnya, sembilan angka 0 baru akan berarti satu miliar kalau di depannya ada angka 1-nya. Kalau angka 1-nya dihilangkan, seberapa banyak pun angka 0 di belakangnya, tak akan bermakna apa-apa."
Dalam artian, kekayaan atau ketenaran atau tingginya jabatan atau apa pun namanya, baru akan berarti dan bisa dinikmati bila orangnya sehat.
Pasalnya, Anda mungkin sudah tak terhitung berapa kali melihat orang yang awalnya kaya raya, tapi kemudian habis seluruh hartanya lantaran digerogoti untuk mengobati penyakitnya yang tak kunjung sembuh.
Sebaliknya, Anda barangkali pernah menyaksikan orang yang semula tak punya apa-apa, tapi berkat kebugaran tubuhnya dan keuletannya dalam bekerja, lalu sukses besar dalam banyak hal.
Maka, pepatah Latin yang bunyinya "mens sana in corpore sano" (di dalam tubuh yang sehat ada jiwa yang sehat), yang sejak kanak-kanak diwanti-wantikan kepada kita oleh para guru olahraga, layak sekali untuk direnungkan dan diamalkan.
Masalahnya, bagaimana supaya kita punya tubuh yang sehat? Bai Juyi, sastrawan masyhur dinasti Tang, menulis begini dalam salah satu puisinya: "壮志因愁减,衰容与病俱" (zhuàng zhì yīn chóu jiǎn, shuāi róng yǔ bìng jù). Terjemahan bebasnya kira-kira: tubuh yang sehat dan kuat, karena galau berkurang; wajah yang menua, seiring penyakit kian parah.
Berarti, kuncinya ada pada pikiran kita. (*)