Melengkapi serat optik Palapa Ring dan ribuan BTS untuk mewujudkan Indonesia terkoneksi internet. Awalnya hanya terkoneksi telekomunikasi, tetapi belakangan sesuai tuntutan perkembangan ditujukan untuk pemerataan internet.
Tentu dengan teknologi yang lebih berbeda atau lebih maju, minimal 4G, bahkan 5G. Makanya, Satria itu pun satelit yang dirancang khusus untuk internet terbesar di Asia. Satelit GEO memang lebih efisien, satu satelit bisa dipakai meng-cover seluruh Indonesia.
Sebaliknya, jika pakai LEO, untuk melayani Indonesia, dibutuhkan lebih dari 100 satelit. Tentu biaya operasional lebih mahal. Belum lagi satelit GEO bisa bertahan lebih dari 15 tahun. Sedangkan Starlink berkisar 5 tahun.
Satelit Satria 1 beroperasi di pelanggan dengan menggunakan VSAT yang akan di-deploy dan dibiayai pemerintah lewat subsidi untuk internet di fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah, pesantren, puskesmas, kantor desa, taman, pasar, dan lain lain di daerah perbatasan dan terluar, terpencil, dan terdepan.
Dengan kapasitas secara teknis bisa sampai 100 bahkan 200 mbps. Sayang, ada juga yang ingin hanya 20 mbps, tentu terlalu kecil dan malah idle untuk infrastruktur dengan kapasitasnya yang sudah digelar.
Tiba-tiba saja muncul keputusan menteri kesehatan 2024 ini, yaitu pakai Starlink, untuk puskesmas. Itu jelas kebijakan inkonsisten dengan rencana dan road map digital Indonesia.
Padahal, sejak awal puskesmas akan disediakan VSAT. Bahkan, masyarakat umum di 3T juga bisa pakai VSAT lewat BUMDes (badan usaha milik desa) yang bisa didanai dana desa untuk melayani masyarakat anggotanya.
Semua itu sudah diantisipasi dan tidak ada yang gak mungkin. Sayangnya, pemerintah buruk dalam kordinasi antar kementerian dan malas kerja keras hingga pelosok. Jadinya, seakan hanya bisa belanja infrastruktur, tapi lemah dalam implementasi.
Lalu, tergoda dengan teknologi lama yang seolah-olah baru karena kepintaran Elon Musk dalam komunikasi dan pemasaran serta menggunakan tren ekonomi valuasi yang sesungguhnya lebih mengandalkan image daripada realitas yang kompleks.
Masyarakat juga pragmatis, asal ingin cepat terlayani, walau sebenarnya yang banyak bersuara justru dari daerah-daerah yang sudah terlayani internet. Bagaimana masyarakat daerah 3T mau berlangganan Starlink jika pasang peralatannya saja harus bayar Rp 7–8 juta, dengan harga langganan paling murah Rp 1,5 juta per bulan.
Rumah-rumah masyarakat di 3T tentu sulit menjangkau biaya itu. Sedangkan di daerah perkotaan, mereka sudah dilayani ISP dengan FO yang jauh lebih cepat, lebih besar kapasitas dan lebih murah langganannya. Starlink akan kesulitan untuk memasarkan sebagaimana terjadi di negara lain yang damai. (*)
Henri Subiakto, dosen FISIP Universitas Airlangga--