John R. Alford, seorang ilmuwan politik dari Rice University yang telah melakukan penelitian yang signifikan tentang hubungan antara genetika dan perilaku politik. Alford bersama dengan James H. Fowler dan Peter K. Hatemi, mengembangkan konsep "heritabilitas politik" dalam studi-studi mereka.
Peter K. Hatemi, seorang ilmuwan politik dari Pennsylvania State University merupakan salah satu peneliti terkemuka dalam bidang genopolitik. Hatemi telah mempublikasikan banyak penelitian tentang bagaimana faktor-faktor genetik dapat memengaruhi orientasi politik, partisipasi politik, dan perilaku pemilih.
Christopher T. Dawes, ilmuwan politik dari New York University juga telah melakukan penelitian penting dalam bidang genopolitik. Penelitiannya mencoba mengidentifikasi gen-gen yang bisa memprediksi voter turnout.
Rose McDermott, Ilmuwan politik yang telah menyumbangkan pemikiran penting tentang hubungan antara genetika dan perilaku politik. McDermott telah meneliti dampak faktor-faktor genetik pada perilaku kepemimpinan politik.
Genopolitik memungkinkan penelitian untuk mengidentifikasi potensi korelasi antara variasi genetik tertentu dan perilaku politik. Ini dapat memberikan wawasan tentang bagaimana faktor genetik berperan dalam membentuk pandangan politik dan partisipasi pemilih.
Data genetik bersifat objektif dan tidak dipengaruhi oleh bias subjektif yang mungkin terjadi dalam survei. Ini dapat membantu mengurangi bias dalam penelitian perilaku politik. Genopolitik dapat membantu menjelaskan mengapa individu-individu memiliki pandangan politik yang berbeda, meskipun mereka mungkin memiliki latar belakang sosial dan lingkungan yang serupa. Ini membuka jendela untuk memahami perbedaan-perbedaan individu yang tidak dapat dijelaskan oleh faktor-faktor non-genetik.
Menurut Klemmensen, R., Hatemi, P. K., Hobolt, S. B., Skytthe, A., & Nørgaard, A. S, tahun 2012 dalam jurnalnya yang berjudul Heritability in political interest and efficacy across cultures: Denmark and the United States menjelaskan, ilmuwan politik mengklaim bahwa kesamaan antara orang tua dan anak, selain dari pengasuhan, sosialisasi, atau faktor sosial yang dibagi oleh keluarga, juga dipengaruhi oleh kemiripan genetik.
Klaim ini mengguncang pandangan yang telah berlangsung selama satu abad dalam ilmu politik. Banyak ilmuwan sosial merasa tidak nyaman dengan konsep ini, dan ketidaknyamanan ini seringkali berasal dari berbagai pemahaman yang salah. Klaim tentang genetika dan heritabilitas fenomena politik telah ada sebelum tahun 2005.
Hal senada juga disampaikan oleh Smith, K. et al (2011) menilai bahwa genetika dapat mewariskan sikap terhadap isu-isu politik khususnya terkait ideologi. Studi yang dilakukan Bell, E., Schermer, J. A., & Vernon, P. A. (2009) pada anak kembar juga menunjukkan heritabilitas dalam sikap politik. Genetik mewariskan perilaku yang terkait dengan isu politik, termasuk konservatisme sosial dan ekonomi, minat umum dalam politik, sikap terhadap partai-partai federal di Kanada. Efek genetik yang signifikan ditemukan untuk empat dari enam skala sikap politik. Nilai heritabilitas berkisar antara 41 persen hingga 73 persen. Efek genetik juga dilaporkan untuk beberapa item individu (termasuk perasaan terhadap partai federal utama, identifikasi partai, dan pilihan suara), dengan heritabilitas antara 33 persen hingga 62 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa ketertarikan Gibran dan Kaesang untuk terjun didunia politik menjadi kajian baru bagi ilmuwan politik khususnya di Indonesia. Kajian ini bisa menjadi pelengkap kajian perilaku memilih selama ini. Kajian interdisipliner dan memanfaatkan perkembangan teknologi menjadi sebuah keharusan bagi ilmuwan politik. (*)
Ali Sahab, Dosen Ilmu Politik, FISIP Universitas Airlangga.--