Penganiayaannya ternyata parah. Sekualitas penyiksaan terhadap tawanan perang.
Normansyah: ”Klien kami disiksa dengan berbagai metode yang lebih kejam dari masa penjajahan. Klien kami tangannya diborgol dan kaki diikat menggunakan kabel. Ditelanjangi. Ia dipukuli secara bergantian oleh teman-teman terlapor sekitar 30 orang. Tiga puluh orang ini tidak bersamaan, tapi datang memukuli klien kami, lalu pergi.”
Dilanjut: ”Lubang kelamin klien kami dimasuki bubuk cabai yang sudah dibakar. Bagian puting susu dijepit tang potong. Ia dicambuk slang air plastik dan ikat pinggang. Ia dipaksa makan batu kerikil, juga dipaksa makan puntung rokok.”
Sampai pada suatu kesempatan pada Sabtu, 1 Juni 2024, MRR berhasil lolos, lalu kabur dari lokasi penyekapan. Tidak disebutkan terperinci proses MRR bisa kabur. Juga, tidak diperinci, bagaimana detail makan, minum, dan buang air besar MRR selama masa penyekapan itu.
Normansyah menyatakan, MRR kini mengalami trauma psikologis yang parah. Keluarga MRR sangat sedih pada kondisi MRR sekarang.
Pemberitaan media massa atas kasus itu, seperti biasa, diikuti medsos. Disebar ke mana-mana dan viral. Pihak kuasa hukum MRR memang berharap agar kasus tersebut menyebar agar ditangani polisi.
Jika laporan polisi oleh Normansyah tersebut benar, sesuai kenyataan, kasus itu penyekapan dan penyiksaan serius. Seperti kata Normansyah, levelnya mirip tawanan perang. Dampak negatif terhadap MRR pasti sangat lama, sebagaimana tawanan perang.
Dikutip dari The Guardian, Sabtu, 13 Desember 2014 bejudul Torture Victims Will Bear Psychological Scars Long after CIA Report Scandal Fades, diungkap teknik penyekapan dan penyiksaan tawanan perang oleh badan intelijen pemerintah AS, Central Intelligence Agency (CIA).
Naskah itu, antara lain, ada hasil wawancara The Guardian dengan bekas tawanan CIA, pria dengan nama samaran sesuai persetujuan narasumber: Jabuli. Ia ditawan anggota CIA di sebuah sel di Afrika Tengah selama tujuh bulan, sampai akhir Desember 2004. Tidak disebutkan, mengapa Jabuli ditawan.
Proses penyiksaan mengerikan. Antara lain, digambarkan, Jabuli ditidurkan tengkurap di lantai. Siku kiri dan kanan Jabuli diikat disatukan dengan pergelangan kaki kiri dan kanan. Jadi, bentuknya seperti pemain sirkus yang tidur tengkurap sambil memegangi kaki kiri dan kanan di arah belakang. Beban tubuhnya tertumpu pada dada dan perut di lantai.
Aneka bentuk penyiksaan terpaksa diterima Jabuli. Dan, pada posisi begitu, ia tidak bisa melihat wajah penyiksanya. Juga sebaliknya, sang penyiksa tidak perlu melihat ekspresi kesakitan wajah Jabuli. Dengan begitu, penyiksa terhindar dari dampak psikologis perbuatan mereka.
Digambarkan The Guardian, kini (saat naskah itu dipublikasi) sudah sepuluh tahun Jabuli bebas dari tawanan. Juga, sudah dirawat dokter atas inisiatif keluarganya. Namun, Jabuli masih terus menyendiri di dalam kamarnya. Cuma sekali waktu ia keluar rumah.
Ketika ditawan, Jabuli masih dewasa muda. Kini ia sudah dewasa lanjut. Tapi, ia belum menikah.
Digambarkan, jika keluar rumah, Jabuli selalu berusaha berada di ruang publik yang ramai. Jabuli merasa, dengan begitu, ia merasa akan ada saksi jika para penyiksanya muncul kembali untuk menculiknya lagi.
Jabuli kepada The Guardian: ”Anda hidup dengan ketakutan, bahwa orang-orang yang menyiksa Anda akan kembali menyiksa Anda lagi, terlepas dari apakah Anda sekarang berada di negara yang aman.”
Jabuli memilih tidak mau pacaran. Sebab, ia tidak ingin pacarnya melihatnya mengalami mimpi buruk atau melihatnya terbangun sambil menangis. Ia mengatakan, ”Saya tidak cukup baik untuk memiliki keluarga.”