Di banyak negara maju, kerap kali mundurnya seseorang sebagai pejabat publik merupakan wujud pertanggungjawaban atas adanya kesalahan yang dilakukannya secara sengaja ataupun tidak terkait dengan hal-hal pembuatan kebijakan secara politik, tindakan korupsi, atau bahkan tindakan amoral yang menguntungkan kroni-kroninya.
Terlepas dari berbagai kesalahan yang dilakukan, budaya politik mundur seseorang dari jabatan politik sebelum berakhir masa tugasnya bisa dianggap sebagai tindakan seorang pengecut yang lari dari tugas dan tanggung jawab publik yang diamanahkan kepadanya. Apalagi, jika terbukti bahwa ternyata kemundurannya akibat ada konflik di tingkat internal kelembagaan yang dipimpinnya.
Namun, di tengah pseudodemokrasi yang berlangsung sangat liberal saat ini, rumusan tersebut di atas tidak lagi sahih untuk digunakan sebagai benchmark untuk bisa memotret realitas yang sesungguhnya.
Media massa sebagai pilar keempat demokrasi punya kuasa memainkan jurus-jurus untuk memutar balik realitas, bahkan dari yang tadinya seorang pecundang dan pengecut yang tidak memiliki kualitas kepemimpinan bisa dimanipulasi dengan cara saksama dan penuh pencitraan justru sebagai korban dari sistem politik yang tidak mampu mewadahi segala gagasan dan upayanya untuk mewujudkan idealismenya demi kepentingan bangsa dan negara.
Dalam iklim politik patronasi yang kuat, jabatan adalah sebuah konsep pertukaran konsesi. Pemegang kuasa memiliki hak dan wewenang membagikan pangkat dan jabatan kepada siapa pun yang ditunjuk untuk menjadi bawahannya.
Arus dukungan politik akan menjadi legitimasi kuat dalam menjalankan kekuasaannya. Dengan demikian, sangat pas menurut pandangan Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, budaya politik adalah suatu sikap orientasi yang khas dari warga negara terhadap sistem politik dengan aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peran warga negara yang ada dalam sistem itu (The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations, 1963).
Maka, sebuah kegagalan yang tidak dipandang sebagai anomali sebuah keberhasilan niscaya lambat laun akan mengkristal menjadi sebuah kebiasaan yang mengabaikan standar moral tanggung jawab.
Bocornya Pusat Data Nasional (PDN) yang sedang ramai saat ini telah menyingkap fakta bahwa tidak terdapat mekanisme mitigasi bencana yang mumpuni ketika terdapat serangan siber dengan ransomware.
Ironisnya, pemerintah telah angkat tangan. Hal itu sangat bertolak belakang dengan tekad kita di pelbagai forum yang sangat lantang bersiap menyambut revolusi industri 4.0.
Sementara itu, di saat yang sama kita justru tidak memiliki sistem backup data yang memadai, lucu bukan! (*)
Sukarijanto, direktur di Institute of Global Research for Entrepreneurship & Leadership dan kandidat doktor di program S-3 PSDM Universitas Airlangga-Dok Pribadi-