Titarubi menghadirkan karya hasil risetnya tentang kearifan lokal soal padi khususnya dan tumbuhan pada umumnya. Ia menggali mitos Sunda tentang Nyi Porabi Sang Hyang Asri. Juga, tradisi petani Jawa yang membaca ”Mboyong Mbok Dwi Sri” setiap panen padi. Semuanya mencerminkan spiritualitas petani dalam memperlakukan padi.
Karya Titarubi yang berkelindan dengan karya suaminya di fasad utama ArtJog tersebut mengingatkan saya kepada Karl Polanyi. Seorang sosiolog dan antropolog ekonomi abad pertengahan yang risau dengan rusaknya alam dan kehidupan sosial akibat kapitalisme. Ia mengusulkan mantra menanam kembali segala aktivitas ekonomi ke dalam sosial-masyarakat yang melingkupi.
Imajinasi saya langsung kepada kenyataan yang sekarang menimpa kita. Ketika hampir semua komoditas pangan kita tak lagi bisa memenuhi kebutuhan sendiri. Saat kita harus bergantung kepada bangsa lain untuk mengimpor berbagai bahan kebutuhan pokok, termasuk beras.
BACA JUGA: Energy of Future, Cara Seniman Persepsikan Masa Depan
BACA JUGA: Tiga Seniman Jepang Tampilkan Barongsai Kontemporer di Pecinan Tambak Bayan
Seakan Titarubi ingin mengingatkan kita semua. Bahwa kita pernah punya tradisi yang menyatukan manusia dengan alamnya. Dengan demikian, segala kebutuhan hidupnya bisa dicukupi alamnya sendiri. Ketika tradisi yang menyatukan alam itu ditinggalkan, nyatanya menjadi negara agraris yang setiap tahun mengimpor beras.
Bagi saya, karya pasangan Agus Suwage dan Titarubi ini bukan sebuah ramalan. Apalagi, sebuah nujum dari para seniman. Melainkan, lebih sebagai kritik sosial tentang sesuatu yang paling dasar dari kebutuhan manusia di negeri kita. Kritik bahwa kita telah lupa dengan alam. Kritik bahwa kita telah mengabaikan kearifan lokal.
Tentu pasangan tersebut bukan Karl Polanyi yang memetakan kenyataan sosial, lalu memberikan jalan keluarnya. Yang kemudian menjadi agenda koreksi atas kapitalisme maupun neoliberalisme yang memuncuk di Eropa abad pertengahan. Yang kemudian menghasilkan konsep welfare state yang diikuti sejumlah negara di sana.
Tentu kita tidak perlu berharap seniman memberikan jalan keluar, apalagi ramalan. Cukup memotret kenyataan sosial dengan kehalusan hatinya yang diwujudkan dalam karya. Seperti yang telah dilakukan Agus Suwage dan Titarubi dalam karyanya di ArtJog yang sedang berlangsung di Jogja hingga sekarang.
Saya hanya berharap ada para pengambil kebijakan yang menengok karya-karya seniman itu. Apalagi, setelah menyaksikan karya-karya seniman itu tergugah hatinya untuk menanamkan kembali ekonomi pangan kita ke dalam sosial-masyarakatnya. Bukan menyerahkan sepenuhnya kepada ekonomi pasar.
Yang juga perlu diacungi jempl adalah Hery Pemad dan kawan-kawannya. Yang terus berjuang menghadirkan ArtJog setiap tahun. Yang setiap kali membangun ulang kawasan Jogja Nasional Museum (JNM) menjadi galeri seni yang asyik. Dengan tema-tema baru yang menyadarkan.
Kesenian memang bukan sekadar seni untuk dinikmati. Seni saatnya menjadi instrumen penyadaran. Ketika cara-cara lain sudah tak lagi banyak dihiraukan kita semua. (*)