Situasi deprivasi orang-orang miskin bukan semata pada urusan perut dan kesehatan, tetapi juga masalah pendidikan. Untuk menjadi melek huruf pun, mereka sulit setengah hidup.
Banyak orang miskin yang tidak sanggup menyekolahkan anak-anaknya secara layak. Angka putus sekolah dari tahun ke tahun makin meningkat, bahkan bunuh diri, karena malu menunggak membayar SPP, tidak mampu bayar iuran, dan lain-lain.
Pendidikan inklusi bukan untuk orang yang berat membayar uang gedung dan SPP. Alhasil, sudah miskin, bodoh pula… Dijamin, indeks pembangunan SDM insani akan kian karut-marut di negeri ini.
Lembaga pendidikan harus mampu menatap masa depan perkembangan ilmu pengetahuan dengan mandiri dan otonom seperti apa yang pernah disampaikan Ki Hadjar Dewantara dengan asas zelf bedruiping yang artinya ”mengelola sendiri dengan sumber sendiri”.
Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa proses pembudayaan bertujuan membangun kehidupan individual dan sosial. Apakah sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi telah berhasil membangun itu?
Justru malah Finlandia yang menerapkan itu dan menjadi negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik untuk warganya. Budaya bangsa sendiri seharusnya dipakai sebagai petunjuk jalan untuk mencari penghidupan baru yang selaras dengan kodrat bangsa dan akan memberikan kedamaian dalam hidup.
Dengan keadaan tersebut, bangsa ini akan pantas berhubungan bersama-sama dengan bangsa lain.
Saat akan mencontoh sistem pendidikan di Finlandia, kita semestinya, pertama, menjadikan profesi guru yang sangat dihormati memiliki otonomi yang besar dalam menentukan konten pengajaran.
Kedua, pemerintah mewujudkan ”setiap sekolah adalah sekolah baik”.
Ketiga, Finlandia mengejar kesetaraan, bukan kesempurnaan. Juga, berusaha mendorong kooperasi, bukan kompetisi.
Keempat, saat penulis mengunjungi Finlandia pada 2022, setiap masyarakat gemar membaca dan menggunakan closed loop system yang mendukung lifelong learning.
Kini Finlandia akan menerapkan metode terbaru dengan meniadakan mata pelajaran dengan fokus pada kerja sama kelompok dan pemecahan masalah yang telah diterapkan pada pendidikan awal. Maka, kita akan jauh tertinggal bila tidak berbenah dari sekarang.
Meski ada sekolah gratis dengan didukung bantuan operasional sekolah yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dengan mengurangi anak putus sekolah, biaya-biaya yang lain membengkak. Misalnya, biaya baju seragam, alat tulis, buku-buku, dan kursus ektrakurikuler.
Standardisasi yang pernah diberlakukan dengan menjadikan negara-negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development/Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) sebagai acuan memperlihatkan ratifikasi TRIPs (trade related aspects of intellectual properties) WTO memaksa Indonesia untuk bertekuk lutut di hadapan liberalisme.
Potensi-potensi lokal dimatikan. Indonesia dengan budaya masyarakat petaninya terpinggirkan. Padahal, siswa Indonesia hidup dalam lingkungan alam melimpah sehingga seharusnya memiliki sumber daya petani yang baik.
Akibatnya, pada saatnya nanti tidak ada lagi yang tertarik menjadi petani.