Saya pernah mengerjakan tugas ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di salah satu kampus di Surabaya. Dia tahu jasa joki saya dari temannya, yang juga pernah menjoki di saya.
Pertama, dia meminta saya untuk mengerjakan tugas mata kuliah bahasa Inggris. Tak lama kemudian, dia order lagi. Tetapi, tidak sendiri, dia datang bersama pacarnya.
Ya, mereka berdua sama-sama menggunakan jasa joki saya. Hingga akhirnya, dia menjadi pelanggan tetap. Selalu repeat order. Apalagi, saat masa-masa ujian. Bisa tiga sampai lima tugas UAS sekaligus.
Tak kalah mengejutkan. Semakin lama saya bergelut di bisnis ini, saya melihat potret buram sistem pendidikan kita itu semakin nyata.
Tidak sedikit dari praktisi pendidikan. Dalam hal ini bapak/ibu dosen yang juga berkecimpung dalam dunia perjokian. Itu diakui langsung oleh salah seorang dosen di salah satu kampus di Surabaya.
Jabatannya pun bisa dibilang cukup tinggi. “Aku yo pernah dadi (ya pernah jadi, Red) joki. Tesis temanku. Hasile yo (hasilnya ya) lumayan,” tutur perkataan kenalan dosen saya saat itu.
Saya tidak mengatakan bahwa joki ini benar. Terus terang, saya tidak menormalisasi atau meromantisasi. Tetapi, tak bisa dimungkiri bahwa market perjokian ini besar dan luas.
BACA JUGA:Kisah-Kisah di Balik Perjokian Kampus (3) : Pernah Dibayar Semangkuk Soto
Selama hasil lebih baik ketimbang proses dan selama populasi orang-orang malas masih mendominasi, saya yakin bisnis ini akan tetap eksis.
Bahkan, saya mengetahui, ada sebuah agensi yang menawarkan jasa joki. Pendirinya adalah salah seorang dosen Ekonomi di salah satu kampus di Pulau Jawa.
Dosen harus memberi perhatian intensif kepada setiap mahasiswa sebagai upaya pencegahan praktik joki tugas.-Boy Slamet/Harian Disway -
Lewat agensi itu, sang dosen menaungi puluhan mahasiswa untuk menjadi joki. Pembagian tugas dan project pun sudah terstruktur. Mereka cukup mengerjakan project yang diberikan. Lalu komisi dibagi dua. Yakni 60 persen untuk mahasiswa dan 40 persen untuk agensi.
Larisnya industri perjokian menjadi bukti bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih di level formalitas. Banyak dari mereka berkuliah hanya untuk mengejar ijazah, bukan proses dan kualitas. (*)