Mulus dan rapi. Jokowi juga disebut-sebut berada di balik skenario calon tunggal di berbagai pilkada 2024. Skenario calon tunggal dengan membentuk KIM (Koalisi Indonesia Maju) ternyata terlihat begitu mulus. Contoh kasus yang paling nyata adalah pemilu gubernur Jakarta yang disebut-sebut akan menjadi ajang revans Anies Baswedan vs Jokowi dan kroninya.
Mulanya terlihat hampir pasti koalisi perubahan Nasdem, PKB, dan PKS akan mendukung Anies dalam pilgub Jakarta. Elektabilitas Anies yang sangat moncer menjadi magnet besar untuk menarik dukungan partai-partai politik. PDIP yang seara ideologis berseberangan dengan Anies pun memberikan dukungan kepada Anies. Trio partai perubahan juga menyatakan dukungan kepada Anies.
Jalan Anies terlihat mulus. Namun, tiba-tiba jalan itu bergelombang dan membuat Anies terpelanting. Diawali oleh PKS yang dengan berbagai alasan akhirnya meninggalkan Anies. PKB lebih mudah meninggalkan Anies karena memang tidak punya hubungan historis dan psikologis dengan Anies. Partai Nasdem pun ikut lari dari Anies dan banyak yang bisa memaklumi karena DNA Nasdem memang tidak punya kemistri dengan Anies.
Langkah kuda PKS mengejutkan karena berani meninggalkan Anies. Tidak ada alasan yang paling masuk akal, kecuali bahwa PKS sudah masuk angin besar sehingga mau bergabung dengan KIM Plus dan mengambil risiko menghadapi serangan gencar dari pendukung fanatik Anies. PKS keukeuh dan yakin akan bisa mengatasi semua risiko.
Koalisi besar KIM Plus tampaknya sukses menjalankan politik pengucilan (political exclusion) terhadap Anies dan PDIP. Sebanyak 12 partai bergabung menjadi satu dan meninggalkan PDIP sendirian tanpa partner koalisi. Tamatlah nasib Anies dan PDIP.
Skenario Jokowi berjalan mulus untuk mengalienasi Anies dan PDIP. Dengan demikian, juga mengeliminasi potensi oposisi secara total. Koalisi raksasa KIM Plus tampaknya akan mulus membagi-bagi kue kekuasaan selama lima tahun ke depan.
Namun, seperti kata pepatah, sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Politik tupai Jokowi bisa berantakan karena terpeleset. Skenario yang disusun rapi ternyata bocor alus dan bisa menghancurkan bangunan koalisi besar yang terlihat kokoh dan tidak tertandingi seperti jargon produk semen.
Bocor alus itu tidak main-main. Bocor alus tersebut ibarat bocoran sebesar ujung jarum dalam sebuah dam raksasa yang menahan jutaan ton kubik air. Bocor alus itu akan dengan cepat menjadi bocor kasar yang bisa merusak dan menjebol dam dan akan menghancurkan dam serta mengakibatkan banjir bah yang tidak bisa dikendalikan.
Bocor alus itu datang dari Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga tertinggi pengawal konstitusi tersebut seolah-oleh sudah dikuasai dengan mulus oleh skenario Jokowi. Penempatan Anwar Usman sebagai ketua MK dan pernikahan Anwar Usman dengan adik Jokowi dianggap sebagai skenario hebat oleh seorang sutradara politik kelas wahid.
Hal itu terbukti dari putusan MK yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. Amarah publik yang besar tidak bisa mengubah putusan itu. Anwar Usman dikorbankan sebentar, seperti seorang pemain sepak bola yang terkena kartu kuning, Anwar Usman diparkir sebentar.
Jokowi bergerak all-out untuk memenangkan anaknya menjadi wakil presiden. Segala macam sumber daya dan kekuasaan ia kerahkan untuk memenangkan anaknya serta menjamin keberlangsungan politik dinasti anak dan mantunya.
Gugatan terhadap kecurangan pemilu yang disebut TSM (terstruktur, sistematis, masif) dimentahkan oleh MK. Banyak yang menyebut MK telah terkooptasi oleh kekuasaan Jokowi sehingga dengan mudah dijadikan alat stempel untuk menjustifikasi skenario politik Jokowi.
Mahkamah Agung (MA) juga tidak luput dari kooptasi Jokowi. Putusan MA yang memperbolehkan calon kepala daerah berusia di bawah 30 tahun disebut-sebut sebagai skenario Jokowi untuk memuluskan jalan Kaesang Pangarep menjadi kepala daerah. Kaesang disiapkan dua tempat, Jakarta atau Jawa Tengah. Skenario itu terlihat mulus karena sangat mungkin akan muncul calon tunggal di pilkada Jawa Tengah.
Namun, skenario Jokowi ternyata bocor alus. MK memutuskan ambang batas dukungan pilkada bukan 20 persen, melainkan 7,5 persen. MK juga menganulir keputusan MA dengan tetap memberlakukan batas minimal usia kepala daerah 30 tahun.
Bocor alus MK itu berpotensi merusak seluruh skenario Jokowi. Anies dan PDIP yang semula teralienasi mendadak hidup kembali dan memunculkan ancaman yang bisa merusak skenario Jokowi secara total. Sangat mungkin PDIP akan mencalonkan Anies yang berpasangan dengan kandidat dari PDIP.
Bocor alus itu bisa menjadi gelombang tsunami yang bisa membuat skenario politik Jokowi hancur berantakan. (*)