Sebutan Raja Jawa terkesan lebih serius. Kalau sebutan Pak Lurah dan Tukang Kayu lebih bersifat guyonan, kali ini sebutan Raja Jawa punya implikasi yang lebih politis. Gaya kepemimpinan Jokowi disebut mirip dengan kepemimpinan Raja Jawa, yang memperoleh kekuasaan bukan dari mandat rakyat, melainkan dari mandat langit dalam bentuk wahyu kedaton.
Sebutan Raja Jawa membawa implikasi bahwa sang raja memerintah tidak berdasar prinsip-prinsip demokrasi. Sebab, sistem yang dianutnya adalah sistem monarki. Salah satu karakter monarki adalah kekuasaan yang berlangsung secara turun-temurun kepada anak cucu yang menjadi bagian dari dinasti.
Seorang raja diasosiasikan kepada kekuasaan yang mutlak dan tidak terbatas. Ia tidak memerintah berdasar pada konstitusi yang bersandar pada kontrak sosial. Seorang raja memerintah berdasar kemauannya sendiri yang diwujudkan dalam bentuk titah, sabda pandhita ratu. Yakni, apa yang diucapkan menjadi hukum dan undang-undang.
Sebutan Raja Jawa kepada Jokowi itu memantik reaksi luas. Bahlil Lahadalia yang tidak punya latar belakang etnis Jawa dianggap tidak paham terhadap istilah tersebut. Kendati demikian, banyak juga yang mengamini bahwa selama menjadi presiden dua periode, Jokowi sengaja mengasosiasikan dirinya sebagai Raja Jawa.
Kekuasaan ala Raja Jawa oleh Jokowi nyaris sempurna pada detik-detik terakhir menjelang berakhirnya periode kepresidenan kedua. Sang Raja Jawa disebut-sebut sebagai mastermind di balik skenario besar yang membuat partai-partai politik tunduk terhadap titahnya. Proyek terakhir yang ingin diselesaikan oleh Sang Raja adalah pemilihan kepala daerah serentak di seluruh Indonesia.
Proyek itu akan menjadi legasi terakhir sang raja. Skenario yang kabarnya dikehendaki sang raja adalah semua partai politik disatukan dalam koalisi besar yang disebut sebagai KIM Plus, Koalisi Indonesia Maju plus parpol bekas lawan politik di Pilpres 2024.
Setelah sukses membuat plotting dalam Pilpres 2024, Raja Jawa membuat plot baru untuk menguasai kepemimpinan daerah di seluruh Indonesia. Plot itu sudah tersusun rapi, tetapi terjadi ”bocor alus” dengan lahirnya putusan judicial review Mahkamah Konstitusi Nomor 60 dan 70 Tahun 2024. Putusan itu memunculkan ”plot twist” yang melenceng dari skenario sang raja.
Skenario untuk menaikkan anak ragil Kaesang Pangarep bubar. Upaya melakukan eksklusi terhadap PDIP dan Anies Baswedan sebagai musuh rezim hampir berantakan. Plot twist itu memunculkan kemarahan publik. Muncullah nama Mulyono yang dengan cepat menjadi sasaran kemarahan dan hampir menjadi public enemy number one. Mulyono dimusuhi mahasiswa dan netizen karena dianggap sebagai biang kerok keruntuhan demokrasi di Indonesia.
Skenario Mulyono terbongkar. Pencitraannya sebagai presiden rakyat yang lugu dan sederhana kolaps. Gaya hidup hedon anak dan menantunya membuat citra keluarga sederhana yang selama ini terbangun menjadi hangus seketika. Politik dinasti Mulyono berada pada ujung tanduk, terancam runtuh seperti rumah domino.
Mulyono tinggal menghitung hari sampai 20 Oktober, saat kekuasaannya berakhir. Masa-masa terakhir ini akan menentukan nasib Mulyono. Akankah ia bisa sukses dengan skenario besarnya? Atau, ia akan menemui endgame dan harus berhadapan dengan kemarahan rakyat?
Kita tunggu episode terakhir Mulyono, The Endgame. (*)