Di sisi lain, seusai kejadian, A langsung menunggangi motornya, berusaha kabur. Beberapa orang pemotor mengejarnya. A tertangkap. Ia dipukuli. Warga yang melihat itu, tanpa tahu persoalan, ikut menghajar A. Untung, ada polisi yang melintas di lokasi dan mengamankan A.
AKBP Victor: ”Hasil penyidikan sementara, motifnya dendam. Tersangka A pernah diledek korban D di depan teman-teman kerja mereka pada Selasa (27 Agustus 2024). Kata tersangka, ledekan itu dengan kata-kata kasar. Sehingga A sakit hati dan ingin membalas. Tapi, nanti kami dalami lebih lanjut.”
Sudah. Cuma begitu. Berarti, A sudah berniat menyakiti D dengan pisau. Sebab, satpam pabrik tidak dipersenjatai pisau. Ia menyanggong di TKP karena sudah hafal jadwal kerja D dan rute perjalanan pulang.
Motif yang disebutkan polisi sangat sederhana. Motif itu barangkali hanya pemicu kemarahan. Sangat mungkin ada latar belakang di balik ledekan D terhadap A tersebut. Semestinya kemarahan A kepada D ketika diledek sudah reda. Sebab, tragedi itu terjadi tiga hari setelah D meledek A.
Apakah kemarahan bisa mengendap dan baru dilampiaskan tiga hari kemudian?
Dikutip dari Scientific American, 12 Januari 2011, berjudul What Causes Someone to Act on Violent Impulses and Commit Murder? diungkapkan, proses kemarahan orang memicunya jadi tindak kekerasan bahkan pembunuhan.
Di sana pewawancara Scientific American Larry Greenemeier mewawancarai Prof Marco Iacoboni, guru besar psikiatri dan ilmu bioperilaku di University of California, Los Angeles, AS. Iacoboni terkenal dengan teori mirror neurons. Itu berupa sel sangat kecil di otak. Mirror neurons punya banyak fungsi. Intinya, elemen penting dari kognisi sosial.
Topik wawancara: mengapa ada orang yang marah, kemudian bertindak keras terhadap orang yang memicu kemarahan? Dan, mengapa lebih banyak orang yang marah, tapi tidak bertindak kekerasan? Apa yang mengubah kemarahan jadi tindakan agresif, bahkan pembunuhan?
Iacoboni menjelaskan, sebagian besar kontrol kognitif di otak atau istilah yang kurang teknis, pengendalian diri, sumbernya di mirror neurons. Lokasinya di otak kecil. Setiap orang punya mirror neurons yang berbeda-beda. Ada yang terlalu sensitif menanggapi kemarahan, tapi sebagian besar orang bisa mengendalikan kemarahan.
Mirror neurons itu sangat penting. Bahkan, lebih penting daripada kecerdasan.
Setahun lalu saya (Iacoboni) mengikuti forum ekonomi dunia di Davos, Swiss. Di situ guru besar psikologi sosial Michigan University Prof Richard Nisbett, yang terkenal sebagai ahli tentang kecerdasan, dengan gamblang mengatakan bahwa ia lebih suka putranya memiliki pengendalian diri yang tinggi daripada cerdas biasa. Artinya, beliau menyadari bahwa mirror neurons lebih penting daripada inteligensi.
Mirror neurons seperti cermin yang membuat orang menirukan sesuatu. Orang menonton film yang menayangkan tindakan kekerasan, membuat ia terpengaruh ingin meniru.
Ironisnya, mirror neurons juga berfungsi membuat kita berempati. Sekaligus membuat kita sangat rentan terhadap segala macam pengaruh.
Tapi, mengapa tidak semua orang meniru tindakan atau perilaku orang lain yang ia lihat? Mengapa hanya sedikit orang yang melihat kekerasan, kemudian menirukan itu pada suatu saat, ketika ia marah?
Hasil riset kami, ada sistem di otak yang membantu kita dengan meniru hanya ”secara internal”. Atau meniru hanya dalam angan-angan, tapi tidak dalam tindakan nyata.
Sistem di otak itu meredam mirror neurons untuk menirukan secara nyata. Kebetulan, mirror neurons juga berfungsi menumbuhkan empati sosial. Dengan demikian, sistem itu menghidupkan fungsi empati sosial dibanding sebagai cermin yang meniru secara nyata apa yang dilihat orang tersebut.