Menkes Ungkap Pelecehan Seks di PPDS

Kamis 05-09-2024,21:01 WIB
Oleh: Djono W. Oesman

Justru di sinilah keruwetan. Ruwet instansi. Penyelenggara PPDS adalah Kemenkes. Bertujuan meningkatkan kualitas dan kuantitas dokter spesialis di Indonesia yang jumlahnya sangat kurang. Jauh di bawah standar internasional.

Presiden Jokowi pada sambutan di acara rapat kerja kesehatan nasional (rakerkesnas) tahun 2024, Rabu, 24 April 2024, mengatakan:

”Saat ini jumlah dokter di Indonesia masih kurang. Rasionya hanya 0,47 dan menempati urutan ke-147 di dunia. Kami akan kejar.”

Itu baru jumlah dokter umum. Belum dokter spesialis yang jauh lebih sedikit lagi. Itu pun sebagian besar dokter spesialis berada di kota-kota besar di Pulau Jawa. Belum menyebar ke 38 provinsi. Di Papua dan Papua Barat jumlah dokter spesialis cuma hitungan jari.

Nah, pelaksana PPDS adalah universitas negeri yang statusnya di bawah naungan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. 

Lokasi pelaksanaan PPDS adalah rumah sakit pemerintah, dalam hal ini RSUP dr Kariadi, Semarang, sebagai teaching hospital. Itu di bawah Kemenkes. Jika dalam PPDS terjadi pelanggaran tindak pidana, yang menangani adalah Polri.

Lintas instansi, yang dalam retorika harus bekerja sama. Sedangkan dalam pelaksanaan pastinya pihak masing-masing berupaya mempertahankan nama baik instansi. Padahal, terduga pelaku perundungan, pemalak, dan peleceh seksual terhadap Aulia adalah dokter senior di PPDS. Individu dokter. 

Seumpama hasil investigasi tim Kemenkes itu kelak terbukti secara hukum, tersangkanya adalah dokter senior PPDS itu. Individu. Bukan instansi (Undip atau RSUP Kariadi). 

Tapi, seandainya benar terbukti secara hukum, nama instansi yang jelek. Kesan publik, seolah PPDS tidak diawasi aparat instansi. Padahal, kenyataannya memang begitu. Asli begitu. Bukan seolah-olah. Terbukti, Menkes Budi kepada pers mengatakan begini: 

”Selama saya menjabat menkes, sudah tiga kali saya meminta agar masalah perundungan di lingkungan kampus diselesaikan. Tujuannya agar tidak memengaruhi kesehatan mental calon dokter yang sedang menempuh pendidikan.”

Budi menyatakan menolak anggapan bahwa perundungan di PPDS dapat membentuk dokter spesialis yang tangguh, berkarakter, dan rela berjuang untuk kemanusiaan.

Budi: ”Tidak benar bahwa perundungan digunakan sebagai alasan untuk menciptakan tenaga profesional yang tangguh. Tidak benar itu.”

Di situlah ruwetnya. Kemenkes berupaya mengatasi kekurangan kualitas dan kuantitas dokter. Seperti sudah dikatakan Presiden Jokowi tersebut. Cara mengatasinya dengan peningkatan pendidikan dokter. Ketika masuk pendidikan, berarti masuk ranah Kemendikbudristek. Ruwet di situ.

Kendati, akibat pengumuman Menkes Budi tentang hasil investigasi tersebut, pihak keluarga Aulia mendapat angin segar. Mereka pasti masih dalam suasana duka. Mereka mukim di Tegal. 

Ortu Aulia, pasutri Mohammad Fakhruri dan Nuzmatun Malinah, pasti berduka. Malah, Fakhruri langsung jatuh sakit setelah mendengar kabar kematian Aulia. Kemudian, Fakhruri meninggal di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Selasa, 27 Agustus 2024. 

Mungkin, pernyataan Menkes Budi berpengaruh terhadap keluarga almarhumah Aulia. Terbukti, ibunda Aulia yang kini menjabat Plt kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Tegal melapor ke Polda Jateng, Rabu, 4 September 2024. Nuzmatun melapor dengan didampingi kuasa hukum dan tim Inspektorat Jenderal Kemenkes. 

Kategori :