Esoterisme Agama dan Asuransi Politik

Minggu 15-09-2024,16:03 WIB
Oleh: Muhammad Turhan Yani*

Sesuai fitrah manusia yang memiliki hati, pikiran, dan nafsu sangat dimungkinkan mengalami perubahan yang bersumber dari dirinya sendiri (internal) dan yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar (eksternal). 

Dalam politik, hal itu sangat sering terjadi, baik dari pimpinan yang sedang berkuasa maupun dari mitra koalisi yang kadang menjadi sumber dari suatu keadaan ketidakpastian.

Kadang seorang pimpinan telah memiliki kemantapan dalam memutuskan sesuatu, termasuk memilih calon anggota kabinet atau jajaran pimpinan dalam sebuah institusi, akan tetapi dalam waktu sekejap dapat berubah setelah bertemu dengan pihak lain. 

Pihak lain yang dimaksud bisa sahabat, pimpinan partai politik, mitra koalisi, dan lain sebagainya.

Perencanaan yang telah matang dapat berubah. Oleh karena itu, yang pasti adalah perubahan dan ketidakpastian itu sendiri. 

Perubahan berdampak pada konsekuensi bahwa apa yang selama ini telah direncanakan, dijanjikan, dan diharapkan menjadi berubah sehingga yang tampak secara realitas adalah ketidakpastian.

Kalau berharap kepada sesama, manusia pasti akan mengalami kekecewaan karena manusia sesuai kodratnya mudah sekali mengalami perubahan. Kadang perubahan  terjadi secara sengaja, kadang secara tidak disengaja. 

Perubahan yang tidak disengaja yang berdampak negatif bagi orang lain akan mendapat cibiran dan respons negatif pula, apalagi perubahan yang disengaja malah lebih keras lagi responsnya. 

Contohnya, seseorang atau suatu kelompok dijanjikan akan menempati posisi dalam suatu jabatan tertentu dan telah disampaikan kepada yang bersangkutan atau melalui pihak lain dalam realitasnya sering berubah alias tidak jadi. 

Itulah salah satu contoh ketidakpastian dalam politik. Dalam kenyataannya, tidak ada jaminan atau asuransi politik karena politik itu bersifat ketidakpastian. 

Oleh sebab itu, agama mengajarkan berharaplah hanya kepada Zat Yang Maha Pasti, yang tidak akan mengecewakan bagi orang-orang yang memiliki kepasrahan totalitas (tawakal). Agama mengajarkan demikian agar manusia tidak berada dalam pusaran harapan akan ketidakpastian. 

Dalam realitasnya, apabila ekspektasi seseorang berlebihan kepada sesama, yang sering diperoleh dan dialami adalah kekecewaan. Kekecewaan akan melahirkan keputusasaan. Keputusasaan akan melahirkan kebencian. 

Kebencian akan melahirkan permusuhan. Permusuhan akan melahirkan dosa dan perbuatan negatif lainnya, bahkan orang yang tidak memiliki iman dan mental yang kuat akan melakukan perbuatan keji dan dosa. 

Misalnya, dalam kasus calon anggota legislatif yang gagal, ada yang melakukan bunuh diri. Kasus politisi yang tidak mendapatkan sesuatu sesuai harapannya, lantas memutuskan hubungan persaudaraan, bahkan permusuhan, dan lain sebagainya. 

Padahal, kalau menyadari tentang semua yang ada di dunia ini adalah memang ketidakpastian. Lalu, layakkah manusia berharap pada ketidakpastian?

Untuk mengantisipasi manusia agar tidak mengalami kekecewaan yang kadang berdampak buruk pada keberlangsungan hidupnya, penting ditanamkan kesadaran yang berbasis transendental Ilahi. 

Kategori :