Dendam Kesumat Enam Tahun, Tikam Kakak Ipar Berkali-kali

Selasa 17-09-2024,13:47 WIB
Oleh: Djono W. Oesman

Chester: ”Hal ini memanfaatkan kecenderungan kuno yang telah berevolusi untuk merespons ancaman dan bahaya dengan pembalasan agresif.”

Dalam studi lanjutan, ia terkejut menemukan bahwa rasa sakit emosional terkait erat dengan kesenangan. Artinya, meski penghinaan awalnya menyakitkan, itu dapat dengan cepat ditutupi oleh kesenangan saat mendapatkan kesempatan untuk membalas dendam.

Penghinaan justru membuat korban mengaktifkan sirkuit penghargaan yang dikenal di otak bernama nukleus akumbens. Orang yang terprovokasi berperilaku agresif justru karena hal itu dapat ”memberikan penghargaan secara hedon”. Demikian temuan Chester. Sebab itu, Chester berpendapat bahwa balas dendam justru memberikan dampak menyenangkan bagi pelaku setelah melampiaskan dendam.

Hubungan antara agresi dan kesenangan itu sendiri bukanlah hal baru. Bapak psikoanalisis Sigmund Freud menyatakan, berperilaku agresif dapat menimbulkan perasaan melegakan bagi pelaku. Tetapi, gagasan bahwa balas dendam memberikan bentuk kesenangan tersendiri baru muncul baru-baru ini.

Untuk itu, Chester dan DeWall menyiapkan serangkaian eksperimen, yang diterbitkan dalam jurnal Personality and Social Psychology edisi Maret 2017. Di sana para peserta dibuat merasa ditolak dengan sengaja ditinggalkan dari permainan melempar bola terkomputerisasi. 

Semua peserta kemudian diizinkan untuk memasukkan pin ke dalam boneka voodoo virtual. Mereka yang berada di kubu yang ditolak ternyata menusuk boneka mereka dengan lebih banyak pin. Tes penolakan itu kali pertama dilakukan secara daring, kemudian direplikasi dengan peserta yang berbeda yang dibawa ke laboratorium. 

Dalam versi laboratorium, alih-alih boneka voodoo, para peserta memerankan ”balas dendam” mereka dengan meledakkan suara keras yang berkepanjangan dan tidak menyenangkan kepada lawan mereka (yang merupakan komputer, tapi tidak disadari para peserta). Tampak, mereka yang merasa paling ditolak atau dihina membuat saingan mereka mengalami ledakan suara yang lebih lama.

Terakhir, untuk memahami peran emosi dalam keinginan membalas dendam, Chester dan DeWall memberi peserta apa yang mereka yakini sebagai obat penghambat suasana hati (sebenarnya itu hanyalah tablet vitamin yang tidak berbahaya). 

Namun, efek plasebo begitu kuat sehingga peserta yang mengonsumsi ”obat” itu tidak mau repot-repot membalas dendam terhadap orang-orang yang menghina mereka. Sedangkan mereka yang tidak diberi plasebo bertindak jauh lebih agresif. Kelompok plasebo, tampaknya, tidak membalas dendam karena yakin tidak akan merasakan kenikmatan apa pun jika melakukannya.

Dengan menggabungkan hasil-hasil itu, tim tersebut sampai pada kesimpulan yang mengejutkan: 

Balas dendam tidak hanya dapat memberikan kesenangan bagi pelakunya, tetapi orang-orang mencarinya justru karena antisipasi bahwa hal itu akan terjadi.

Chester: ”Ini tentang pengalaman mengatur emosi. Dan itu berhasil. Setelah memiliki kesempatan untuk membalas dendam, orang-orang yang ditolak mendapat skor yang sama pada tes suasana hati seperti mereka yang tidak ditolak.

Namun, temuan itu perlu ditanggapi dengan skeptis. Saat ini belum ada studi lanjutan jangka panjang tentang bagaimana perasaan balas dendam beberapa hari atau minggu setelah tindakan tersebut. Hasil awal yang belum dipublikasikan menunjukkan bahwa para pencari balas dendam hanya merasakan kesenangan sesaat. Begitu menurut temuan Chester. 

Chester: ”Seperti banyak hal lainnya, rasanya menyenangkan pada saat itu. Itu memulai siklus dan mulai terlihat seperti kecanduan... Setelah itu, Anda merasa lebih buruk daripada saat Anda memulainya.”

Pasti, pelaku balas dendam merasa lebih buruk. Sebab, setelah mereka melampiaskan dendam, seperti dilakukan Noverrd, ia bisa dihukum mati. Betapa pun, teori Chester memberikan peringatan kepada pendendam dan orang yang didendami. (*)

 

Kategori :