Penyebabnya banyak faktor. Antara lain, remaja sekarang hidup dalam budaya kekerasan. Tampak pada selera musik, sekolah, rumah, geng mereka. Musik klasik seperti karya Ludwig van Beethoven atau Wolfgang Amadeus Mozart menggambarkan kehalusan karakter. Musik rock menggambarkan kekerasan.
Banyak remaja beranggapan, berkelahi berarti bertahan hidup. Ketika mereka bergurau dan merasa dilecehkan teman, banyak yang tidak melaporkan ke ortu atau guru. Mereka beranggapan, pelecehan itu harus dilawan. Ketika seorang remaja tidak berani melawan sendirian, ia mengajak teman. Begitu juga sebaliknya, remaja yang merasa akan diserang. Terjadilah tawuran.
Ilustrasi remaja bernama Robert. Ayah Robert tidak mengerti, mengapa putranya terus berkelahi di sekolah. Robert sudah menjalani masa percobaan karena mencuri dan membolos. Setiap kali menyerang teman sebaya, ia dikirim ke tahanan. Ia telah menjalani terapi setahun untuk mencari alternatif selain berkelahi. Tetapi, tidak berhasil.
Ayah, guru, dan polisi tidak mengungkap, ternyata Ribert sekelas dengan remaja pria yang dinilai sangat berbahaya. Dari teman itu, Robert belajar, jika tidak berkelahi, ia akan terlihat lemah dan malah menjadi sasaran perundungan teman-temannya, yang memiliki akses ke segala macam senjata. Alhasil, Robert jadi pemberang.
Pakar psikologi remaja lainnya, Dr Michele Borba, dalam bukunyi, berjudul The Big Book of Parenting Solutions (2009), memberikan solusi yang menarik untuk mengatasi remaja tawuran. Disebutkan lima strategi verbal.
Disebutkan, penyebab remaja suka tawuran. Sebab, mereka tidak tahu etika. Entah karena tidak diajari ortu atau guru ataukah ia memang tidak mau menerima pelajaran etika. Atau, bisa juga ia terlalu egois.
Dr Borba: ”Ajarilah anak-anakmu untuk berdebat dengan hormat. Sebab, perkelahian diawali dengan berdebat.”
Anak-anak wajib tahu, tidak masalah untuk tidak setuju pada suatu pendapat orang lain, asalkan rasa tidak setuju diwujudkan tanpa mencela orang yang tidak disetujui.
Mayoritas anak-anak tidak tahu cara membantah pendapat orang lain dengan hormat. Maka, ajarkan beberapa frasa yang dapat anak-anak adopsi untuk menyampaikan pandangan dalam lima kalimat ini:
1. ”Itu satu ide. Ini yang lainnya...”
2. ”Saya tidak setuju pendapatmu. Begini pendapat saya…”
3. ”Ada cara lain untuk melihatnya, begini…”
4. ”Sudahkah kamu mempertimbangkan...?”
5. ”Itulah salah satu cara untuk melihatnya. Tetapi, ini ada cara lainnya...”
Anda perlu menulis frasa tersebut pada bagan untuk digantung di lemari es sebagai pengingat. Kalau ditulis di HP, tidak cukup terlihat. Di lemari es, setiap saat bisa Anda lihat. Tujuannya, anak-anak terbiasa menggunakannya.
Tekankan bahwa mereka harus menyampaikan kalimat tersebut dengan tenang, kemudian mendengarkan pendapat orang lain. Dengan tenang pula.