Aroma Kesetaraan Gender Tiga Srikandi di Pilgub Jatim

Jumat 04-10-2024,09:46 WIB
Oleh: Sukarijanto*

Sebaliknya, pekerja perempuan di perdesaan didominasi pekerja keluarga/pekerja tak dibayar sebesar 36 persen. Meski demikian, dalam konteks ekonomi dan lapangan kerja, isu emansipasi wanita kerap kali terkait dengan kesenjangan ekonomi dan kesetaraan upah. 

Di banyak negara berkembang, wanita masih mendapatkan upah yang lebih rendah daripada pria meski dalam bidang pekerjaan yang sama, peluang karier dan keterwakilan di tingkat senior masih tetap berbeda secara signifikan. 

Di samping itu, wanita sering menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan yang sepadan dengan pendidikan dan keterampilan mereka. Hal itu memperparah ketidaksetaraan ekonomi antara pria dan wanita. Juga, dapat membatasi kemampuan wanita untuk mengambil peran yang lebih dominan dalam perekonomian. 

Secara bertahap, diperlukan upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang kesenjangan upah dan kesempatan kerja yang sama antara pria dan wanita. Selain itu, pemerintah dan sektor swasta dapat berperan dalam menciptakan kebijakan yang memastikan upah yang setara dan kesempatan kerja yang adil bagi semua jenis kelamin. 

Meski demikian, terdapat batasan tak kasatmata yang secara tidak langsung berlaku kepada perempuan untuk mencapai posisi yang tinggi yang disebut sebagai glass ceiling. Itu menyulitkan wanita untuk mencapai posisi yang tinggi dan tentu menghambat wanita untuk mencapai cita-citanya. 

Jika diartikan secara harfiah, glass ceiling adalah sebuah batasan atau sering juga disebut sebagai langit-langit kaca. Glass ceiling merupakan sebuah hambatan atau halangan bagi kaum perempuan untuk maju, seperti memiliki jabatan tinggi atau menjabat sebagai pimpinan di lingkungan di mana dia berada (Y. Arianto B.N., 2018).

Di ranah politik, diperlukan upaya secara kontinu untuk mendorong partisipasi politik wanita dengan memberikan pelatihan dan pendidikan politik serta dukungan dan jaringan yang luas. 

Kebijakan publik yang memperhatikan kepentingan wanita dan mendorong pengambilan keputusan yang inklusif dan setara juga diperlukan. Perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. 

Pendekatan Teori Nurture seakan menguatkan indikasi bahwa adanya perbedaan membuat wanita selalu tertinggal dan terabaikan dalam hal peran dan kontribusinya di kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan kelas borjuis dan perempuan sebagai kelas proletar (Sasongko, 2009). 

Sebaliknya, menurut Teori Nature, adanya pembedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa di antara kedua jenis kelamin tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. 

Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya. Di samping kedua aliran tersebut, terdapat jalan kompromistis yang dikenal dengan teori keseimbangan (ekuilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. 

Pandangan itu tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki. Sabab, keduanya harus bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. 

Adapun garis tegas dinyatakan sosiolog Talcott Parsons dalam teorinya, ”Ketimpangan Gender”, bahwa ”pencari nafkah” laki-laki memenuhi peran instrumental dengan menjadi berorientasi pada tugas dan berwibawa, sedangkan ”ibu rumah tangga” perempuan mewujudkan peran ekspresif dengan memberikan dukungan emosional. 

TANTANGAN KE DEPAN

Kian terbukanya ruang publik terhadap kehadiran peran dan kiprah wanita tak jarang mendapati sejumlah kendala sosioekonomi-kultural. 

Kategori :