BACA JUGA: Kampanye Pilgub Jatim 2024 Masih Adem-Ayem
BACA JUGA: Aroma Kesetaraan Gender Tiga Srikandi di Pilgub Jatim
Dryzek (2005) dalam The Politics of the Earth: Environmental Discourses juga menyoroti pengaruh ideologi politik terhadap kebijakan lingkungan. Pandangan politik partai dan individu sangat memengaruhi arah kebijakan yang diambil, termasuk dalam hal keberlanjutan lingkungan.
Dalam konteks Jawa Timur, kebijakan yang diambil gubernur dan wakil gubernur selama ini belum menunjukkan komitmen kuat dalam menjaga sumber daya alam dan keberlanjutan lingkungan. Hal itu dapat dilihat dari penanganan masalah sampah yang hingga kini belum ada solusi efektif.
Kota Batu, misalnya, mengalami krisis sampah karena Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tlekung telah melebihi kapasitas. Dampaknya, pencemaran lingkungan berupa air lindi yang berbau busuk kian menyulitkan warga.
BACA JUGA:Pilgub Jatim Cerminan Pilpres, Tiga Pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur Puas Nomor Urut
BACA JUGA: Isu Strategis di Pilgub Jatim
Kebijakan lingkungan yang diterapkan di Jawa Timur belum mampu mengurangi timbulan sampah secara signifikan. Usulan penggunaan insinerator dan pembangkit listrik tenaga sampah hanya fokus pada memusnahkan sampah, tanpa menyentuh akar permasalahan seperti pengurangan sampah di sumbernya dan peningkatan daur ulang.
Solusi seperti itu hanya memberikan ilusi penyelesaian sementara, tetapi tidak berkelanjutan dalam jangka panjang. Selain itu, pencemaran sungai dan udara yang disebabkan aktivitas industri juga terus menjadi masalah serius yang belum tertangani dengan baik.
Beberapa kasus pencemaran besar di Pasuruan, Mojokerto, dan Blitar memperlihatkan lambatnya respons pemerintah daerah. Dari era Soekarwo hingga Khofifah, terlihat bahwa isu lingkungan tidak menjadi prioritas utama bagi pemerintah.
Deforestasi di Jawa Timur juga menjadi persoalan mendesak yang memperparah kondisi lingkungan. Wilayah-wilayah seperti Banyuwangi, Bondowoso, Jember, Malang, dan Bojonegoro terus kehilangan ratusan hektare hutan setiap tahunnya akibat alih fungsi lahan.
Deforestasi itu memiliki dampak langsung terhadap meningkatnya bencana alam hidrometeorologi seperti banjir bandang yang sering melanda daerah-daerah di hulu daerah aliran sungai (DAS).
Dari 2021 hingga 2023, tercatat setidaknya sepuluh kejadian banjir bandang yang terutama terjadi di daerah-daerah dengan hutan gundul akibat pembalakan liar atau perubahan fungsi lahan.
Kondisi tersebut tidak hanya mengancam ekosistem, tetapi juga kehidupan masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah rawan bencana itu.
Masalah lingkungan di Jawa Timur tidak berhenti pada sampah dan deforestasi. Krisis air yang makin mengkhawatirkan, degradasi ekosistem pesisir, serta tata ruang yang tidak berkelanjutan juga harus menjadi perhatian utama.
Pengelolaan air yang buruk mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya air, yang berdampak pada ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat. Di sisi lain, tata ruang yang tidak sinkron dengan prinsip-prinsip keberlanjutan mengakibatkan banyak lahan yang memiliki peruntukan ganda atau tumpang tindih, memicu kerusakan ekosistem lebih lanjut.